Diskusi Publik Seri 2: Mengikis Feodalisme dalam Demokrasi di Indonesia

02
May


14:00 - 16:00 Komisi Kebudayaan / Cultural Commission Daring melaui zoom dan youtube / Online via zoom and youtube

 

Latar Belakang 

The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2023 merilis indeks demokrasi yang dengan tegas menempatkan Indonesia pada posisi demokrasi cacat (flawed democracy). Indeks Demokrasi EIU dihitung berdasarkan lima indikator, yaitu proses pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Dua terakhir, yakni aspek budaya politik dan kebebasan sipil secara mencolok dan konsisten memperburuk demokrasi Indonesia. 

Indikator buruknya demokrasi Indonesia paling banyak disebut adalah pemilihan umum (pemilu). Pemilu sebagai salah satu instrumen demokrasi diselenggarakan dengan banyak mengabaikan, bahkan menabrak prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi. Kita jadi ingat istilah elections without democracy akibat bias otoritarianisme di masa Orde Baru. Ketika itu dikenal operasi khusus Ali Murtopo. Sebuah operasi senyap menggembosi partai-partai peserta pemilu yang menjadi lawan dari Golkar. Operasi tersebut dimaksudkan untuk menggelembungkan suara Golkar melalui mobilisasi pegawai negeri sipil (ASN), kepala desa hingga penerapan aturan yang diskriminatif terhadap partai-partai lain. 

Andreas Schedler menyebut sistem Orde Baru itu dengan rezim otoritarianisme hegemonik. Sebuah sistem dimana kekuasaan eksekutif mengendalikan penuh (full-control) proses elektoral dan persaingan hanya menjadi bagian dari rekayasa atau manipulasi kekuasaan. Sejatinya dalam tipe rezim ini, tidak ada persaingan melainkan hanya penyelenggaran teknis-elektoral prosedural rutin yang diklaim sebagai wujud pelaksanaan demokrasi. 

Demokratis tidaknya suatu negara dapat dilihat dari budaya politiknya. Budaya politik itu sendiri berkembang di dalam kehidupan masyarakat dan dipengaruhi oleh kompleksitas nilai yang dipraktekkan dalam masyarakat tersebut. Jika budaya politiknya mendukung berkembangnya demokrasi, atau yang disebut civic culture, maka sistem politiknya juga cenderung demokratis, demikian sebaliknya. 

Demokrasi berdiri di atas asumsi bahwa setiap warga negara setara di hadapan hukum. Karena itu, diperlukan keterbukaan terhadap semua bentuk cara hidup selama cara hidup itu tidak melanggar hukum yang sah di mata rakyat. Maka, tidak ada cara hidup yang lebih tinggi daripada cara hidup lainnya. Baik orang keturunan keraton, pemuka agama, pengusaha kaya, maupun pejabat tinggi, semua memiliki kedudukan setara di mata hukum maupun negara. 

Dalam kasus Indonesia, pasca Orde Baru, perubahan politik yang terjadi cenderung lebih bersifat legalistik ketimbang substantif. Sistem politik yang berhasil dibangun baru sampai pada level prosedural sehingga hanya terwujud demokrasi semu (pseudo demokracy). Budaya politik kita masih dicemari unsur-unsur feodalisme dalam wujud kuatnya relasi patron-klien dan birokratisasi pemerintahan, khususnya pemerintahan desa. Feodalisme mengganggu tegaknya demokrasi, terutama berkaitan dengan prinsip hak asasi manusia dan keadilan sosial. Budaya feodal selalu berujung pada tindakan diskriminasi, intoleransi, penindasan, korupsi, dan akhirnya pemusnahan kelompok minoritas. 

Sebelum jauh membahas, perlu diulas sekilas, apa itu feodalisme? Feodalisme berasal dari bahasa Inggris yaitu feudalism. Kata feudal berasal dari bahasa Latin yaitu feudum yang berarti sebidang tanah yang diberikan kepada seorang vasal. Vasal merupakan penguasa bawahan atau pemimpin militer sebagai imbalan dari pelayanan yang diberikan pada pemilik tanah. Istilah feodalisme pertama kali muncul di Perancis pada abad ke-16 dan menjadi populer sejak tahun 1748 berkat De L'Esprit des Lois (The Spirit of the Laws) karya Montesquieu. 

Feodalisme adalah sistem sosial politik yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tuan, bawahan, dan wilayah. Struktur feodalisme dapat dilihat dari bagaimana ketiga elemen ini saling melengkapi. Tuan adalah bangsawan yang memiliki tanah, bawahan adalah orang yang diberikan tanah, dan wilayah adalah tanah perdikan. Sebagai imbalan atas perdikan, bawahan akan memberikan prajurit kepada tuan. Kewajiban dan hubungan antara tuan, bawahan, dan wilayah membentuk dasar feodalisme. Karena itu, ciri khas dari feodalisme adalah ketaatan mutlak terhadap pemimpin atau atasan. 

Feodalisme menghasilkan sistem piramida masyarakat feodal sebagai berikut. Raja menduduki posisi paling atas, menyusul kaum aristokrat. Selanjutnya, terdapat bupati yang berkuasa pada suatu daerah dan di bawahnya terdapat kepala-kepala rakyat dan terakhir rakyat menempati strata paling bawah yang berarti paling banyak menerima tekanan dan menderita. Masyarakat feodal merupakan masyarakat yang mempunyai orientasi pada nilai pelayanan berlebihan pada penguasa, pejabat, birokrat, maupun orang yang dituakan. 

Tiga prinsip utama feodalisme. Pertama, sistem feodalisme berfokus pada kekuasaan, yakni menguasai politik, sosial, ekonomi, budaya, dan segala aspek kehidupan. Kekuasaan feodalisme bersifat sentral pada satu pemimpin. Kedua, kekuasaan dalam feodalisme hanya berkutat pada kelompok tertentu yang berkerabat. Misalnya, ketika seorang pemimpin meninggal, ia akan digantikan oleh anak atau kerabat dekat. Ketiga, pengkultusan terhadap pemimpin. Pemimpin feodal tidak hanya dihormati, melainkan juga dipuja dan bahkan dikultuskan. 

Untuk konteks Indonesia, budaya feodalisme dianggap sebagai warisan dari sistem kerajaan yang mengedepankan patron-klien. Kerajaan Mataram sering disebut sebagai cikal bakal tumbuhnya budaya feodal. Di masa itu terdapat kitab hukum yang menjadi dasar dan sumber hukum tertinggi bernama manawa. Isinya, antara lain menjelaskan bahwa semua tanah merupakan milik raja, tidak ada satu pun milik rakyat. Untuk mengelola tanah tersebut, raja dibantu oleh patuh. Patuh dibedakan menjadi dua, ada patuh yang berasal dari keluarga kerajaan bernama sentani; dan patuh yang bertugas untuk penyelenggaraan kebijakan kerajaan disebut nayaka. Di bawah sentana dan nayaka terdapat bekel, yaitu petugas yang mengkoordinir tanah-tanah tersebut. Kemudian di level bawah lagi terdapat sikep yang bekerja mengelola tanah tersebut dibantu oleh bujar atau batur. Di sinilah mulai munculnya sistem feodalisme pada Kerajaan Mataram. 

Setelah masa kerajaan, muncul masa kolonialisme di mana Belanda menjajah Indonesia. Rakyat dieksploitasi dan tidak mendapat keadilan, sementara sejumlah elit lokal melakukan kolusi dan korupsi dengan Belanda. Akibatnya, rakyat mengalami penderitaan berlipat ganda. Sudah ditindas karena kolonialisme, ditambah pula dengan sikap penguasa pribumi yang korup. Para penguasa pribumi yang feodal itu memotong upah para pekerja sehingga rakyat semakin menderita. 

Sejak era kolonialisme hingga orde baru, desa menjadi arena feodalisme dan elitisme. Kepemimpinan desa dengan unsur feodalisme yang dikuasai oleh orang kuat atau bosisme lokal telah berakar kuat dalam perekonomian desa dan berkembang pesat selama Orde Baru. Di masa ini pula, kepala desa dan sanak kerabatnya menikmati akses atas sumberdaya yang digelontorkan oleh negara melalui beragam mekanisme subsidi sarana produksi pertanian (seperti bibit, pupuk dan pestisida). Pelaksanaan program-program pemerintah, dengan demikian, diperantarai oleh kepentingan para elit lokal di tingkat desa yang mengontrol berbagai sumber ekonomi yang besar di desa. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menerapkan penyeragaman struktur pemerintahan desa memperkuat dominasi kepala desa di level akar rumput. Bermacam ketentuan pada masa itu dikondisikan sedemikian rupa. Upaya tersebut dilakukan agar terbentuk sistem politik lokal yang bercorak tertutup dan monopolistik. 

Politik pengaturan desa sejak era kolonial dan dilanjutkan oleh orde baru mewariskan kepemimpinan desa yang feodal, dinastik (didominasi jejaring keluarga elit), dan seringkali oligarkis (arena kekuasaan hanya dikuasai oleh elit dan untuk kepentingan elit). Unsur feodalisme kepemimpinan desa tersebut berakar pada dua hal: dominasi elit/orang (kuat) lokal melalui budaya paternalistik (Mulder, 2001) serta kepemimpinan konservatif-birokratik dan politik kekerabatan (Sidel, 2004). 

Ketika Orde Baru berkuasa, kepala desa memiliki masa jabatan delapan tahun dan bisa dipilih kembali untuk periode kedua. Faktanya, ketentuan tentang masa jabatan dua periode tidak selalu dipatuhi. Pemilihan kepala desa tidak diselenggarakan setiap delapan tahun dan bisa ditunda karena bermacam alasan (Anna Wetterberg, dkk., 2013: 88). Memang betul kepala desa dipilih oleh masyarakat, namun para kandidatnya seringkali merupakan titipan pemerintah pusat. Itulah mengapa, kepala desa lebih diposisikan sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Pusat daripada pemimpin masyarakat. Kondisi itu tentu saja turut melahirkan sentralisasi kekuasaan. Penempatan Kepala Desa selaku penguasa tunggal di level lokal mewariskan kepemimpinan desa yang feodal, dinastik, serta oligarkis. 

Selama masa reformasi, kondisi tersebut semakin terpuruk dengan digelontorkannya dana desa yang menjadi sumber korupsi di tingkat pemerintahan desa. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 memandatkan kepada pemerintah desa untuk mengatur tata kelola pembangunan di desa. Artinya, pemerintah desa memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan roda pemerintahan di desa. Namun dibalik itu semua, jika kita amati dalam kacamata kajian feodalisme dan elitisme, terlihat semakin berkembangnya watak feodalisme dan elitisme di kalangan aparatur pemerintah desa. Fenomena seperti ini dinilai tidak sehat dalam perjalanan tata kelola pemerintahan di desa, khususnya dalam upaya membangun demokrasi. 

Masa jabatan hingga 6 tahun dengan periodisasi sebanyak 3 kali yang apabila dijumlahkan sebanyak 18 tahun merupakan masa jabatan yang terlampau panjang dan tidak sesuai dengan prinsip konstitusionalisme yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan demi menghindari excessive atau abuse of power. Limitasi kekuasaan ini dapat dilakukan dengan pengaturan masa jabatan kepala desa yang rasional sesuai dengan UUD 1945. Apabila tetap bertahan pada pengaturan Pasal 39 UU Desa, terbuka ruang abuse of power yang berseberangan dengan prinsip konstitusionalisme, negara hukum, dan demokrasi konstitusional. Selain itu, juga tidak sejalan dengan grand design pembangunan dan kemajuan desa, yang dapat berujung pada pelanggaran hak konstitusional warga negara, terutama berkenaan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. 

Jika masyarakat Indonesia masih terkungkung budaya feodalisme, maka wajah demokrasi akan cacat selamanya. Tidak terlalu salah untuk menyimpulkan bahwa hambatan terbesar demokrasi Indonesia bukan lah korupsi, kolusi, ataupun kemiskinan. Namun, jauh daripada itu terdapat suatu sistem bernama feodalisme yang menjadi akar masalah-masalah kemiskinan, korupsi, kolusi dan berbagai bentuk tindakan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Sebaiknya, negara harus mengikis feodalisme terlebih dahulu demi menegakkan demokrasi yang substansial, demokrasi yang mengedepankan nilai-nilai keadaban (virtual values). 

Tampaknya, tiada pilihan lain kecuali mengikis feodalisme dalam demokrasi di Indonesia. Hanya dengan cara itu, kita dapat membangun kehidupan yang demokratis, dimulai dari desa. Senjata utama untuk menghancurkan feodalisme adalah pendidikan. Pendidikan itu tidak hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga di masyarakat, khususnya dalam keluarga secara intensif. Pendidikan antifeodalisme dimulai dengan penegasan hak asasi manusia dan penerapan nilai-nilai kesetaraan manusia. Semua manusia setara sebagai warga negara merdeka. Semua manusia berharga sebagai makhluk yang memiliki harkat dan martabat (dignity). Karenanya, semua bentuk diskriminasi yang melahirkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan harus dihapuskan. 

 

Maksud dan Tujuan 

Kegiatan ini diharapkan dapat mendiskusikan hal-hal sebagai berikut: 

1. Menggali faktor-faktor sosial-politik dan ekonomi yang menghambat penegakan demokrasi di Indonesia, terutama sejak era reformasi; 

2. Mengidentifikasi unsur-unsur feodalisme dalam sistem demokrasi Indonesia, khususnya terkait penyeragaman struktur pemerintahan desa; 

3. Mengungkapkan sisi-sisi negatif dan bahaya laten dari sistem feodalisme; 

4. Mengajukan berbagai solusi demi mengikis feodalisme dalam demokrasi di Indonesia 

5. Menawarkan pilihan-pilihan demokrasi yang lebih sesuai dengan konteks keindonesiaan 

 

AGENDA        
         
SESI PEMBUKAAN   Pemutaran video profil Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)  

WAKTU

01.52-02.00 PM (GMT +7)

KATA PENGANTAR   MC: Shita Azalia (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI))  

WAKTU

02.00-02.05 PM (GMT +7)

SAMBUTAN

DAN PEMBUKAAN DISKUSI

 

Prof. Dr. Daniel Murdiyarso

Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)

 

WAKTU

02.05-02.15 PM (GMT +7)

         
DISKUSI      

WAKTU

02.20-04.00 (GMT +7)

         
PENGANTAR DISKUSI  

Moderator: Prof. Musdah Mulia (Komisi Kebudayan AIPI)

   
         
PENANGGAP  

Prof. Franz Magnis Suseno (Komisi Kebudayan AIPI)

   
         
NARASUMBER 1  

Bivitri Susanti (Sekolah Tinggi Hukum Jentera Indonesia)

   
         
NARASUMBER 2  

Prof. Syarif Hidayat (Komisi Kebudayan AIPI)

   
         
NARASUMBER 3  

Abdul Malik Gismar Ph.D. (Universitas Paramadina)

   
         
         
VIRTUAL BACKGROUND ZOOM   Virtual Background untuk zoom    
         
         
PRESENTASI (Klik link untuk mengunduh)
DEMOKRASI CUKONG?: Feodalisme dan Anomali Reformasi Politik Pasca Orde Baru oleh Prof. Syarif Hidayat
         
         
Rekaman Video (Klik gambar untuk melihat video)  

   
         
         

 

Penyelenggara

  Komisi Kebudayaan

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.