
Siaran Pers
Memiliki Hutan Mangrove Terluas, Mampukah Indonesia Menjadi Pemimpin dalam Perdagangan Karbon Biru Global?
Sebagai negara dengan kekayaan karbon biru terbesar di dunia, status nilai ekonomi karbon Indonesia justru masih jauh lebih rendah dibanding negara-negara lain. Layakkah kita menetapkan nilai ekonomi karbon yang lebih tinggi dan bagaimana caranya agar Indonesia bisa memimpin dalam perdagangan karbon biru global?
Jakarta, 11 Okto0ber 2025.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan punya garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, Indonesia kaya akan ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove dan padang lamun. Ekosistem ini menyimpan kekayaan karbon biru—yang memainkan peran penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Selain mempunyai fungsi ekologi yang tinggi, karbon biru juga memiliki potensi nilai ekonomi yang besar. Skema perdagangan karbon biru dan pembayaran jasa ekosistem karbon biru yang sedang berkembang memberikan peluang baru untuk mendukung pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir Indonesia. Perkembangan pasar karbon, baik secara domestik maupun internasional, membuka peluang bagi Indonesia dalam memimpin pengembangan dan operasionalisasi program ekonomi biru.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Airlangga Hartarto, pernah mengatakan Indonesia memiliki potensi pendapatan sebesar 565,9 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 8.000 triliun dari perdagangan karbon dari hutan, mangrove, dan gambut. Proyeksi tersebut menggunakan skema bila Indonesia mampu menjual karbon dengan nilai kredit karbon 5 dolar AS per ton CO?e.
Sayangnya, meski menyimpan kekayaan karbon biru global yang besar, hingga kini Indonesia justru menjadi negara dengan satuan nilai ekonomi karbon (harga karbon) yang masih jauh lebih rendah dibanding negara-negara lain. Sebagai contoh, Uruguay memiliki harga karbon sekitar 167 dolar AS per ton CO?e. Banyak negara maju lainnya menetapkan harga karbon di atas 50 dolar AS per ton CO?e. Sementara itu, Indonesia baru memulai dengan harga yang sangat rendah, yaitu sekitar 1 dolar AS per ton CO?e.
Dalam lokakarya bertajuk “Sains dari Medan Merdeka Selatan: Nilai Ekonomi Karbon Biru dan Kepemimpinan Indonesia” yang digelar di Jakarta, 14 Oktober 2025, dihadiri oleh sejumlah pakar dan pemangku kepentingan berdiskusi membahas bagaimana memanfaatkan potensi karbon biru termasuk dari segi ekonomi. Mereka juga membahas peluang Indonesia untuk menjadi pemimpin dalam memajukan dan menjalankan program ekonomi biru di tingkat global yang berkeadilan.
Ilmuwan Utama dari Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) sekaligus Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Daniel Murdiyarso, mengatakan kita harus berani menetapkan harga yang layak untuk karbon biru Indonesia. “Harga 5 dolar AS per ton karbon itu sangat murah. Untuk itu, kita juga harus memiliki sistem tata kelola dan regulasi yang jelas. Daniel juga menegaskan: “merestorasi hutan mangrove yang sudah rusak lebih sulit dan lebih mahal ketimbang upaya melindungi dari deforestasi dan degradasi”. Karena itu, imbuhnya, “upaya konservasi yang note bene adalah mencegah terjadinya emisi harus mendapat imbalan yang layak”. “Namun sayang, mekanisme pasar tidak melihat pencegahan emisi sebagai peluang”, tegasnya lagi. Sebagai contoh harga karbon biru yang diserap dan disimpan oleh ekosistem rumput laut ditetapkan Jepang dalam perdagangan unilateral hingga 400 dolar AS per ton.
Daniel juga tidak menyangkal bahwa meningkatkan kepercayaan pasar tidak semudah membalikkan tangan. Begitu juga kapasitas para pemangku kepentingan, khususnya masyarakat pesisir, sebagai penerima manfaat, perlu ditingkatkan secara progresif.
“Indonesia perlu menciptakan tata kelola yang baik dan transparan serta memastikan proyek karbon yang berkualitas dari sisi teknis dan sains. Perhitungan dan pemantauan proyek karbon di Indonesia harus dijalankan dengan metode yang berstandar internasional,” tegasnya. Daniel juga menggarisbawahi pentingnya kepastian hukum dan kebijakan yang koheren demi memastikan keberlanjutan program ekonomi karbon biru .
Saat ini, Indonesia adalah negara dengan sisa luas lahan mangrove terbesar di dunia. Dengan demikian, menurut Daniel, Indonesia seharusnya memiliki daya tawar yang tinggi dalam perdagangan karbon biru global. Salah satu upaya yang perlu dilakukan demi mencapai hal tersebut adalah dengan memperjelas skema perdagangan karbon dan memanfaatkan pengetahuan ilmiah yang sudah memadai untuk meningkatkan kualitas dan integritas proyek karbon biru di Indonesia.
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Hanif Faisol Nurofiq, sepakat bahwa Indonesia perlu maju untuk menjadi pemimpin dalam perdagangan karbon termasuk karbon biru. Ia menyebut pemerintah Indonesia sudah mengambil beberapa langkah besar untuk memperkuat daya saing dalam perdagangan karbon di tingkat dunia. Langkah-langkah yang ia maksud antara lain penandatanganan Mutual Recognition Agreement (MRA) antara Sertifikasi Pengurangan Emisi GRK Indonesia (SPEI) dan Verified Carbon Standard (VCS) Program oleh Verra, penandatanganan Letter of Intent (LoI) perihal kerja sama penggunaan metodologi dengan Puro.earth, serta penerbitan dokumen panduan bagi pengembang proyek yang melakukan sertifikasi dengan Gold Standard for Global Goals (GS4GG).
Hal ini semakin melengkapi peluang Indonesia, yang sebelumnya diawali dengan mengoptimalkan pendanaan iklim melalui skema REDD+ termasuk hutan mangrove di dalamnya. Indonesia memperoleh pembayaran berbasis kinerja (result-based payment, RBP) dari GCF sebesar 103,8 juta USD dan FCPF sebesar 180 juta USD; termasuk result-based contribution (RBC) sebesar 216 juta USD yang berasal dari Pemerintah Norwegia, namun masih berasal dari stok karbon mangrove di atas permukaan tanah. Indonesia juga telah menyampaikan Forest Reference Level dengan memasukkan karbon bawah permukaan tanah hutan mangrove dalam rangka mengakses pembayaran berbasis kinerja selanjutnya. Indonesia juga mengoptimalkan pendanaan iklim melalui skema Pasal 6.4 Persetujuan Paris dan kerjasama dengan Jepang untuk skema Pasal 6.2 Persetujuan Paris, serta dengan Pemerintah Norwegia di bawah Norwegian Article 6 Climate Action Fund (NACA) Project.
Hanif juga terus mendorong transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif dalam pelaksanaan nilai ekonomi karbon di tingkat internasional, baik di sektor kehutanan dan lahan (forestry and other land use/FOLU) maupun energi. Keberadaan hutan mangrove menjadi salah satu kunci yang dapat menjadi pengungkit dalam pengembangan ekosistem karbon biru, termasuk mendukung National Adaptation Plan Indonesia. Menurutnya keunggulan kompetitif dalam implementasi nilai ekonomi karbon multiskema hanya dapat diwujudkan dengan membangun pasar karbon yang inklusif, didukung dengan infrastruktur yang transparan dan robust untuk menghasilkan kredit karbon berintegritas tinggi.
Daniel menegaskan bahwa nilai ekonomi karbon biru penting untuk dioptimalkan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. “Kita tidak hanya menggarisbawahi perlunya melindungi hutan mangrove, tetapi juga memastikan jasa ekosistem hutan itu bisa meningatkan ketahanan (resilience) masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim dan memberikan penghidupan layak bagi masyarakat sekitar,” katanya.
Pada November mendatang, Konferensi Perubahan Iklim ke-30 Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP30) akan digelar Brasil, yang merupakan negara dengan hutan mangrove terbesar kedua di dunia setelah Indonesia. Menurut Daniel, mangrove kian memiliki daya tarik yang besar karena makin sering dibahas tidak hanya sebagai bagian dari potensi mitigasi iklim, tetapi juga dalam konteks adaptasi dan perlindingan biodiversitas seperti diamanatkan dalam Persetujuan Paris.
Menteri Hanif mengatakan Indonesia dapat memamerkan hasil berbagai upaya dan siap diperdagangkan dengan berbagai pihak pada COP30 mendatang. Indonesia juga memiliki potensi karbon vintage sebelum tahun 2020 dan termasuk kredit karbon dari skema Pembayaran Berbasis Kinerja di luar yang sudah diperoleh dari Green Climate Fund dan RBC Pemerintah Norwegia. “Masa depan perdagangan karbon di Indonesia akan ditentukan oleh kredibilitas dan integritas pasar karbon yang kita bangun dengan kredit karbon berintegritas dari masing-masing sektor. Kami ingatkan kepada kita semua bahwa menjaga integritas karbon adalah hal yang sangat penting; tidak boleh satupun diantara kita menimbulkan fraud yang akan merusak integritas karbon Indonesia,” tegasnya.
Dukungan ilmiah sangat diperlukan dalam memperkuat instrumen pengembangan karbon biru yang tidak hanya dalam konteks mobilisasi pendanaan iklim. Penguatan ini diharapkan mendorong carbon governance pada karbon biru secara menyeluruh dalam rangka mendukung aksi mitigasi dan adaptasi dalam pencapaian target NDC Indonesia,” ungkap Menteri Hanif. “Saya ingin mengajak kita semua bekerja sama untuk membangun perdagangan karbon untuk mendukung pencapaian target pengurangan emisi dengan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa,” pungkasnya.
Daniel berharap hasil diskusi dari lokakarya ini bisa menjadi bekal bagi delegasi Indonesia untuk bernegosiasi dalam COP30 mendatang. “Mangrove telah memiliki daya tarik besar dalam agenda iklim, sehingga tampaknya juga akan menjadi salah satu topik utama dalam COP30 mendatang,” kata Daniel. “Indonesia perlu menunjukkan kepemimpinannya dalam pembahasan perdagangan karbon biru global di COP30 tersebut.”
Website : aipi.or.id
Instagram : aipi_Indonesia
Tweeter : AIPI_id
Youtube : AIPI_Indonesia
Penulis Siaran Pers:
Budhy, Kania Rahayu, Sigit Asmara Santa
K.Rahayu@cifor-icraf.org, humas@aipi.or.id
Biro Adm. Ilmu Pengetahuan, AIPI