Opini

no image

Jangan Nodai Ingatan Bangsa

09 November 2025
Oleh : SJ. Johannes Haryatmoko
Unduh PDF


Bagaimana mungkin kita menuntut generasi muda mencintai kebenaran bila negara sendiri menutup mata terhadap pelanggaran yang dilakukan penguasanya?

Setiap bangsa hidup dari ingatannya. Kedewasaan moral bangsa tecermin dari cara mengenang para pejuang dan memperlakukan masa lalunya. Ingatan kolektif tentang siapa yang berjuang, yang menindas, dan yang berkorban menjadi fondasi moral untuk melangkah ke depan. Maka wacana untuk mengangkat tokoh masa lampau yang meninggalkan jejak otoritarianisme atau pembungkaman kritik pasti menimbulkan kontroversi. Dalam perbantahan itu, sebetulnya yang sedang diuji bukan hanya tokoh tersebut, melainkan nurani bangsa, bukan sekadar perdebatan sejarah, melainkan ujian moral bangsa.

Ingatan kolektif bukan arsip yang membeku di museum sejarah, melainkan kesadaran hidup yang menuntun arah moral setiap generasi. Ingatan kolektif membentuk arena moral di hati korban, keluarga, dan masyarakat. Ketika negara menulis ulang kenangan dengan tinta kekuasaan, sejarah kehilangan nuraninya (Halbwachs, 1997). Ketika kita mengaburkan batas antara pengabdian dan penindasan, bangsa kehilangan cermin untuk menilai dirinya sendiri.

Mereka yang pernah menjadi korban kekerasan politik atau penghilangan hak asasi masih menyimpan luka yang belum kering. Bagi korban dan keluarganya, luka itu masih belum kering. Mengangkat tokoh masa lalu yang dianggap otoriter sebagai pahlawan hanya akan membuka kembali luka itu. Memberi penghormatan tanpa menimbang luka itu sama dengan menaburkan garam di atas penderitaan yang belum sembuh.

Bangsa yang bijak bukan bangsa yang melupakan masa lalu, tetapi yang berani menghadapinya dengan jujur, bukan dendam, tetapi memilih keadilan sebagai jalan penyembuhan. Bagaimana mungkin kita menuntut generasi muda mencintai kebenaran bila negara sendiri menutup mata terhadap pelanggaran yang dilakukan penguasanya? Maka ingatan kolektif membantu mengoreksi sikap negara yang mengabaikan masalah kebenaran dan masih mengulangi lagi demi jalan pintas legitimasi.

Menghidupkan ingatan kolektif berarti bersama membangun proyek perdamaian dan tidak mengulangi kekeliruan masa lalu yang tragis. Ingatan kolektif bukan untuk balas dendam, tetapi upaya klarifikasi hukum dan sejarah untuk mencari keadilan. Dengan demikian sejarah orang yang kalah, sejarah korban diberi tempat. Bagaimana proses hukum bisa digunakan secara efektif untuk merangsang pencarian spiritual suatu bangsa? Bagaimana, melalui dramatisasi para jaksa dan hakim, masyarakat didorong untuk kritis terhadap budaya politik dan lembaga-lembaganya?

Jawaban atas kedua pertanyaan itu terletak pada kredibilitas peradilan. Kredibilitas peradilan tergantung pada kemampuannya mengisahkan sejarah bangsa dalam bingkai ingatan kolektif. Pengisahan itu mengandung dilema, dari sisi politik, narasi dibatasi oleh kerangka hukum formal: fakta hukum, bukti, kesaksian, kronologi kejadian, pasal hukum yang dilanggar. Tujuannya kepastian hukum. Masalahnya, jika orientasi penguasanya legalisme otokratis, hukum hanya dijadikan instrumen kekuasan. Korban kalah dan diabaikan.

Dari sisi moral, peristiwa hukum dilihat dari makna tindakan, konteks sosial, dan motif kemanusiaan: penderitaan korban dan dilema moral pelaku. Tujuannya adalah pemulihan keadilan manusiawi (Ricoeur, 2000). Memang narasi moral membahayakan rezim yang berkuasa: banyak pihak akan diseret karena keterlibatan mereka di masa lalu. Namun, kebanyakan pelaku masih dalam lingkaran kekuasaan, tentu akan mencegah proses hukum.

Tragisnya, kredibilitas peradilan sulit diperoleh karena proses hukum tidak pernah ada dan dicegah berlangsung. Kesaksian korban tidak bisa dikonfrontasikan dengan para pelaku dan arsitek kejahatan HAM. Tiadanya konfrontasi ini tidak memungkinkan pengakuan hukum terhadap korban sebagai korban. Korban justru mengalami viktimisasi kedua, dan pelaku menikmati impunitas, bahkan diusulkan menjadi pahlawan. Tiadanya narasi moral itu memendam bahaya akan berulangnya skenario kekerasan dengan pola serupa di masa depan.

Martabat sejarah tecermin dari penulisannya berstandar ilmiah: sumber relevan, otentik, dan tepercaya. Sumber sejarah mengacu ke dokumen tertulis, arsip, surat kabar, artefak, wawancara, dan sumber lisan. Lalu keaslian sumber dan kredibilitas isi sumber diuji. Untuk membangun kebenaran sejarah tidak bisa sumber-sumber itu diseleksi hanya dari perspektif kepentingan penguasa.

Fakta sejarah belum dengan sendirinya berbicara, tetapi perlu sejarawan untuk menghubungkan sebab, akibat, dan konteksnya. Namun, bahayanya ketika sejarawan mengabaikan fakta yang terkait kekejaman masa lalu dan tidak peduli terhadap fakta yang digali dari arsip, berita, artefak yang berkisah tentang korban, atau wawancara korban. Dampaknya, rekonsiliasi dicabut dari akar sejarah yang jujur, bahkan memberi tempat kepada alibi penyangkalan kejahatan masa lalu yang menggores luka lama.

Menagih masa lalu

Ingatan individual lenyap bersama dengan kematian seseorang. Ingatan kolektif tetap hidup meskipun orang-orangnya sudah meninggal. Tindakan seseorang, terutama yang memegang tanggung jawab publik, tidak berakhir setelah dilakukan. Tindakannya meninggalkan inskripsi sosial, tanda yang tertanam dalam jaringan makna bersama. Inskripsi menjadi ingatan kolektif, tempat di mana pelaku, korban dan makna tindakan membentuk sejarah untuk menegosiasikan arti keadilan.

Ketika penguasa ingin menghapus jejak-jejak kekerasan dan kejahatannya, ”politik ingatan” itu hanya meninggalkan ingatan semu, ingatan resmi yang terpateri di spanduk dan upacara, tetapi mati di hati rakyat. Lalu politik hanya menjadi ”budaya simbolik tanpa substansi moral” atau menurut Bernhard & Kubik disebut hollow memory politics (2014).

Ingatan kolektif bukan sekadar sejarah, tetapi ingatan yang menagih agar kejahatan masa lalu diselesaikan secara adil (Ricoeur, 2000). Karena itu, ingatan kolektif mempertanyakan impunitas karena mencederai rasa keadilan. Ingatan kolektif menolak rehabilitasi sebelum proses rekonsiliasi yang adil dilakukan. Rekonsiliasi nasional tidak bisa dibangun di atas penyangkalan. Membangun infrastruktur rekonsiliasi berarti menjamin keadilan bagi korban, pengakuan terhadap kebenaran, dan kejujuran sejarah.

Kepahlawanan dan bahaya lupa

Kepahlawanan bukan kemampuan merekayasa dukungan rakyat untuk panjangnya kekuasaan, melainkan integritas dan kejujuran. Kualifikasi pahlawan melekat pada integritas: tindakannya menumbuhkan harapan dan semangat solidaritas, sumber keteladanan dan inspirasi moral. Maka bayang-bayang ketakutan yang melingkupi era rezim represif masa lalu seharusnya sudah cukup untuk mendiskualifikasi pemimpin dari status pahlawan. Pembiaran pelanggaran HAM atas nama stabilitas melegitimasi politik rekayasa polarisasi masyarakat demi memudahkan kontrol.

Seorang yang berjiwa pahlawan seharusnya memiliki keberanian moral untuk mengoreksi kebijakannya dengan melakukan pertobatan sejarah: berani mengungkap kebenaran sejarah, menawarkan rekonsiliasi dan merehabilitasi korban. Yang dilakukan justru sebaliknya, meninggalkan jejak sejarah hitam: membatasi kebebasan, membungkam kritik, memenjarakan tanpa proses peradilan. Jejak sejarah ini bertentangan prinsip moral, dasar kepahlawanan itu sendiri. Maka Reformasi 1998 muncul sebagai koreksi moral atas arogansi rezim represif. Bukankah mengusung pemimpin yang ditumbangkan Reformasi itu mengkhianati semangat Reformasi itu sendiri?

Orang lupa akan air mata dan darah para pejuang Reformasi. Lupa adalah bentuk pengkhianatan terhadap mereka yang menderita. Sebelum kita mengangkat siapa pun sebagai pahlawan, ada baiknya kita bertanya lebih dulu kepada nurani kita: Apakah bangsa ini sudah siap melupakan air mata mereka yang tertindas demi pembangunan semu? Apakah sejarah boleh dipoles demi citra, sementara luka belum disembuhkan?

Jika jawabannya tidak, biarlah ingatan kolektif bangsa tetap menjadi penjaga moralnya. Sebab, bangsa tanpa ingatan kolektif, tidak berdaya menagih kebenaran masa lalu sehingga akan mudah jatuh lagi ke dalam tangan besi penguasa.

 

Haryatmoko,
Pegiat Etika Publik dan Anggota AIPI, Komisi Kebudayaan

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas, 09 November 2025

Hak Cipta © 2014 - 2024 AIPI. Dilindungi Undang-Undang