Opini

no image

Kembali ke Fitrah Cita Negara

21 February 2024
Oleh : Yudi Latif
Unduh PDF


Bangsa Indonesia telah meraih berbagai kemajuan inkremental, namun pencapaian itu berdiri di atas landasan yang goyah.

Manusia boleh punya kehendak, tetapi semesta memiliki perhitungannya tersendiri.

Cara pandang kita sering kali terbatas pada hal-hal terukur dan kasat mata. Namun, di balik itu ada tautan tersembunyi dari hukum aksi-reaksi yang ditimbulkan oleh karma baik dan buruk kita. Sejarah adalah aliran sungai yang terus mengalir. Kebaikan dan keburukan kita di masa lalu akan menentukan siapa kita, nasib kita hari ini, dan nasib kita di masa depan.

Manusia hidup dalam wujud kekinian yang terus diperbaharui sebagai hasil rangkaian karma baik dan buruk. Malangnya, banyak aspiran kekuasaan tergoda meraih kemenangan jangka pendek, dengan menghalalkan segala cara, tanpa menyadari dampak karma jangka panjang. Politik identitas, glorifikasi nasab, money politics, manipulasi kebijakan dan instrumen negara mungkin bisa memenangi kontestasi di ruang dan waktu tertentu, tapi manusia tak bisa dibohongi/ dibodohi selamanya di semua tempat.

Kemenangan seperti itu bisa menorehkan stigma buruk yang pada gilirannya akan menjadi arus balik penolakan dan perlawanan. Dalam keriuhan kontes pemilu yang belum kunjung mereda, ada baiknya kita menoleh buku Bhagawad- Gita (Simfoni Ketuhanan), bagian paling pendek, tapi paling disukai dari epik Hindu Mahabarata.

Dari kisah sentralnya, di mana Arjuna diliputi keraguan dan keengganan untuk memasuki perang Baratayuda antara Pandawa dan Kurawa, karena yang akan diperangi (pihak Kurawa) sepupunya sendiri, juga dari nasihat Kresna kepada Arjuna; kita belajar bahwa dalam bertindak ada motivasi rohaniah yang menentukan eksistensi kehidupan.

Setelah 25 tahun reformasi, bangsa Indonesia telah meraih berbagai kemajuan inkremental, namun pencapaian itu berdiri di atas landasan yang goyah.

Motivasi rohaniah itu: tama (kegelapan), raja (api), sattva (cahaya). Tama  merefleksikan tindakan yang didasari ketidaksadaran dan kelembaman yang mempertahankan kehidupan secara tak berkeadaban. Raja merefleksikan kepentingan dan ambisi kalangan semenjana (mediocre) yang bertindak untuk mengakumulasi dan meningkatkan pencapaian pribadi. Sattva merefleksikan kesadaran dan kemurnian, yang bertindak penuh ketenangan sebagai wujud darma pelayanan, tanpa dibebani ambisi, pengharapan, penghargaan pribadi. Darma mulia bertindak dengan dorongan sattva.

Fitrah ketulusan

Kekuatan bersama kita sebagai bangsa muncul saat ketulusan perjuangan menjadi semangat zaman. Bangsa Indonesia bisa merdeka tatkala para pendiri bangsa berjuang dengan dorongan sattva.

Kenanglah akar ketulusan dan kelurusan niat para pendiri bangsa! Dalam mengambil keputusan sulit, para anggota BPUPK terlebih dulu mengheningkan cipta seraya memanjatkan doa agar keputusan yang diambil dilandasi maksud suci dan diterima dengan hati murni penuh keikhlasan.

Kenanglah akar rasa tanggung jawab para pendiri bangsa! Dalam membincangkan hukum dasar, Muhammad Yamin mengingatkan, ”Saya hanya minta perhatian betul-betul, karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-Undang Dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik.”

Kenanglah akar kesungguhan para pendiri bangsa dalam mencapai yang terbaik! Menanggapi Soepomo, yang menyatakan bahwa tidak bisa dibentuk hukum dasar yang sempurna di masa perang, Soekarno mengingatkan, ”Saya peringatkan tentang lamanya perang kita tidak tahu, barangkali satu bulan barangkali lebih lama dan jikalau hukum dasar kurang sempurna, lebih baik didekatkan pada kesempurnaan.”

Kenanglah keinsyafan tanggung jawab dan keluasan visi Bung Hatta! Ia ingatkan: ”Indonesia, luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan yang amat luas."

"Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapat rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya, kita harus mendidik diri kita dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan abadi. Hati kita harus penuh dengan cita-cita besar, lebih besar dan lebih lama umurnya daripada kita sendiri.”

Dengan akar semangat ketulusan, tanggung jawab, dan ketajaman visi itu, negara ini didirikan, seperti tercermin di Pembukaan Konstitusi Proklamasi. Manakala mengalami kebimbangan arah hidup dan kerapuhan jati diri, pilihan terbaik kembali ke akar spirit republik.

Kekuatan bersama kita sebagai bangsa muncul saat ketulusan perjuangan menjadi semangat zaman.

Kembali ke cita negara

Kekisruhan dan kemerosotan demokrasi Indonesia di sekitar Pemilu 2024 tak berdiri sendiri. Tak juga semata-mata mencerminkan defisiensi etika politik perseorangan. Bahkan jauh sebelum masa pemilu, perkembangan demokrasi Indonesia sudah mengalami dekadensi. Semua ini resultante dan kulminasi dari berbagai kelemahan rancang bangun tata kelola negara serta malapraktik pemerintahan selama masa reformasi.

Orde Reformasi telah memberi keleluasaan pada lebah-lebah kewargaan untuk terbang bebas dengan cara membakar sarang tradisi kebersamaannya. Luput dari kesadaran bahwa keberlangsungan dan kejayaan suatu negara-bangsa ditentukan oleh kesanggupannya merawat akar tradisi baik, disertai inovasi yang tepat dan terukur dengan kesanggupan memberikan respons yang ampuh terhadap tantangan yang dihadapinya.

Daya respons ampuh ini memerlukan perpaduan tiga elemen kunci. Pertama, kekuatan etos dan etika kewargaan yang dapat mengokohkan basis karakter, daya juang dan kohesi sosial (tata nilai mental -kultural). Kedua, tata kelola negara yang bisa menjamin tegaknya negara hukum, negara persatuan, dan negara keadilan (tata kelola institusional-politikal). Ketiga, tata sejahtera perekonomian berkeadilan dan berkemakmuran, lewat mekanisme redistributif atas harta, kesempatan dan privilese sosial disertai penguasaan iptek yang bisa meningkatkan nilai tambah atas sumber daya terberikan (tata sejahtera).

Setelah 25 tahun reformasi, bangsa Indonesia telah meraih berbagai kemajuan inkremental, namun pencapaian itu berdiri di atas landasan yang goyah. Pada ranah tata nilai mental-kultural, politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Dengan meluluhnya dimensi etik, kita sebagai bangsa majemuk kehilangan basis dan simpul rasa saling percaya. Tanpa basis integritas, cita persatuan menjelma jadi persatean.

Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan dirayakan dengan surplus ritual dan ucapan, namun miskin penghayatan dan pengamalan. Dalam realitasnya, Pancasila tak lagi dijunjung tinggi sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada ranah tata kelola politik kenegaraan, kebebasan yang dimungkinkan demokrasi harus dibayar mahal dengan robohnya rumah tradisi kekeluargaan. Desain demokrasi dan kelembagaan negara menyimpang dari prinsip negara hukum, negara persatuan dan negara keadilan seperti dikehendaki oleh cita negara Pancasila.

Perwujudan demokrasi Orde Reformasi melenceng menuju trayek demokrasi liberal tanpa memenuhi prasyarat fundamental yang ditekankan para pemikir liberalisme klasik. Prasyarat itu adalah rule of law, meritokrasi dan akuntabilitas. Yang terjadi di sini, rule of law ditepikan rule by law; meritokrasi ditepikan mediokrasi; akuntabilitas ditepikan kleptokrasi dan personalisasi kekuasaan.

Sistem demokrasi prosedural yang menekankan keterpilihan individu dalam sistem pemilu padat modal, telah merusak prinsip kesetaraan politik dan kesetaraan kesempatan, yang melahirkan demokrasi degeneratif di bawah tirani oligarki. Pilihan kebijakan dan tindakan pemerintahan terdistorsikan komitmennya untuk melaksanakan misi negara: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasar kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan.

Visi dan komitmen politik terjebak dalam demokrasi prosedural dengan tekanan orientasi jangka pendek dengan muara arus kebangsaan dan kenegaraan yang tak menentu.

Visi dan komitmen politik terjebak dalam demokrasi prosedural dengan tekanan orientasi jangka pendek dengan muara arus kebangsaan dan kenegaraan yang tak menentu. Pilihan dan program pembangunan tercegat dalam kubangan kedaruratan lima tahunan, yang harus dibayar mahal dengan kerusakan berkelanjutan. Pembangunan nasional dijalankan secara kontradiktif.

Tren perkembangan global menuju otomatisasi, ekonomi pengetahuan, perampingan pemerintahan, perubahan iklim, penggunaan energi hijau, penyebaran pandemi, dan perluasan kesenjangan sosial, memerlukan respons perencanaan berjangka panjang berkesinambungan. Namun, orientasi politik dan visi teleologis politik kita justru tertawan oleh tekanan jangka pendek.

Pada ranah tata sejahtera, demokrasi politik tak berjalan seiring dengan demokrasi ekonomi. Kesenjangan sosial makin lebar karena pengabaian prinsip keadilan dalam redistribusi harta, kesempatan dan privilese sosial. Selain itu, Indonesia dengan potensi SDA berlimpah justru tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara berdaulat.

Dengan memerhatikan berbagai distorsi dan destruksi dalam tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera dalam rentang waktu 25 tahun Orde Reformasi, bisa ditarik kesimpulan bahwa demokrasi dan tata kelola negara yang berkembang tak berada di jalur yang tepat. Kondisi ini bukan hanya mencerminkan kegagalan perseorangan, tapi kegagalan sistemik.

Untuk menyehatkan demokrasi dan mengembalikan pemerintahan ke jalur sesuai dengan Pancasila sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju bersama, kita tak bisa mengandalkan harapan hanya pada kebaikan orang per orang sebagai juru selamat. Kita perlu menata ulang Republik, sebagai berikut.

Pertama, kita harus kembali ke fitrah cita negara dengan pintu masuk melalui jalan kembali ke Konstitusi Proklamasi, 18 Agustus 1945. Bila diperlukan, penyempurnaan terhadap Konstitusi bisa dilakukan secara bertahap dengan cara addendum. Bagaimana pun juga tak ada sistem politik yang sempurna.

Maka, dua patokan perlu diperhatikan untuk tata kelola yang baik. Di satu sisi, gerak progres itu perlu dukungan stabilitas. Demi stabilitas perlu derajat kesetiaan pada rumah bersama, dengan menjaga tradisi, institusi dan konsensus baik yang diwarisi dari masa lalu. Perubahan jangan sampai merobohkan semua tiang tradisi. Kita bisa belajar dari AS. Kendati telah melakukan perubahan konstitusi 27 kali, namun tetap memerhatikan struktur asli konstitusinya, dengan menempuh cara adendum.

Di sisi lain, gerak progres juga memerlukan usaha penyesuaian secara terus-menerus seiring perkembangan zaman. John Micklethwait & Adrian Wooldrige dalam The Fourth Revolution: The Global Race to Reinvent the State (2014) mengingatkan bahwa negara-negara sejagat saat ini berada di tengah pacuan untuk mereinvensi (tata kelola) negara dalam rangka merespons perkembangan globalisasi, disrupsi teknologi, dan persaingan global.

Tata kelola negara yang baik harus bisa memberi keseimbangan antara peran negara, pasar dan komunitas. Memimpin pemerintahan, apalagi dalam sistem demokrasi, tak harus dengan cara “mendayung” (rowing), yang butuh otot aparatur negara yang besar; cukup secara “mengemudi” (steering) dengan mengaktifkan segala peran, fungsi dan agensi secara partisipatif dan koordinatif.

Untuk menyehatkan demokrasi dan mengembalikan pemerintahan ke jalur sesuai dengan Pancasila sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju bersama, kita tak bisa mengandalkan harapan hanya pada kebaikan orang per orang sebagai juru selamat.

Kedua, kita perlu memperkuat kembali fundamen etika publik dan budaya kewargaan inklusif berlandaskan Pancasila, yang mewujud dalam jati diri bangsa yang tangguh dan warga negara yang kompeten, yang dibudayakan lewat pendidikan karakter kewargaan di semua bidang dan lapis kehidupan.

Ketiga, kita harus kembali ke sistem pemerintahan sendiri dengan merestorasi sistem demokrasi Pancasila yang otentik dengan menjunjung tinggi negara hukum, negara persatuan dan negara keadilan. Suatu bentuk demokrasi yang menjamin kesetaraan politik dan kesetaraan kesempatan dalam sistematika kekeluargaan yang dilandasi semangat politik inklusif yang mengakomodasi representasi individu, representasi golongan, dan representasi daerah.

Dengan menjaga keselarasan antara pembangunan negara dan pembangunan bangsa, kemakmuran material dan spiritual, kemerdekaan individu dan harmoni sosial, dengan semangat gotong royong melibatkan partisipasi dan responsibilitas segenap komponen bangsa.

Keempat, perlu kesungguhan komitmen mewujudkan ekonomi moral Panca -sila dalam rangka mencapai kemakmuran inklusif. Perlu diupayakan keseimbangan antara keadilan (pemerataan) dan kemakmuran (pertumbuhan) melalui semangat perekonomian merdeka.

 Hasil pemilu sebagai katalis

Apa pun yang terjadi dengan hasil pemilu kali ini, seyogianya menjadi katalis bagi upaya melakukan tata ulang sistem pemerintahan dan demokrasi Indonesia. Semangat rekonsiliasi yang didengungkan harus diletakkan dalam semangat memperkokoh rumah bersama dilandasi spirit dan cita negara Pancasila.

Sebagaimana diingatkan oleh Bung Karno, “Suatu bangsa yang tak memiliki keteguhan keyakinan pada nilai dan kekuatannya sendiri tak dapat berdiri sebagai bangsa merdeka.”
 

Yudi Latif,
Pakar Aliansi Kebangsaan, Anggota Komisi Ilmu Kebudayaan, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Harian Kompas 21 Februari 2024

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.