Ekonomi bisa digenjot, tapi tanpa mesin birokrasi kuat, kendaraan bernama Indonesia takkan pernah sampai tujuan. Apakah birokrasi kita mampu membawa bangsa ini maju?
Dalam riuh rendah pembangunan mengejar realisasi janji politik pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, reformasi birokrasi tampak tertinggal dalam senyap.
Kabinet yang membengkak dengan menteri nonprofesional, ditambah penunjukan langsung sejumlah pejabat eselon 1a tanpa seleksi terbuka, seolah mematikan sistem meritokrasi yang susah payah dibangun. Dengan pendekatan politik- militeristik, birokrasi kian kaku, dan meminggirkan nalar kelembagaan.
Padahal, birokrasi itu mesin pemerintahan. Seperti kendaraan, pemilik sering sibuk memperindah tampilan luar, lupa memperhatikan mesin, kecuali saat mogok. Begitulah birokrasi: selama sistem berjalan, perhatian padanya nyaris tiada. Padahal, tanda-tanda mogok jelas di depan mata.
Mogoknya mesin pembangunan
Pertama, janji-janji politik terancam gagal karena lemahnya eksekusi. Hingga Juni 2025, baru 3 juta dari target 82,9 juta siswa menerima Makan Bergizi Gratis (MBG) dipenuhi, itu pun dengan ribuan kasus keracunan dan banyak mitra belum dibayar. Janji 3 juta rumah gratis belum jelas arah kebijakannya.
Target 500—atau 200—sekolah rakyat untuk tahun ajaran 2025/2026 masih kabur. Program perluasan bantuan sosial (bansos) dan mengatasi kemiskinan ekstrem belum tereksekusi mulus karena pemadanan Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) dengan NIK belum tuntas. Sementara itu, berbagai indikator ekonomi makro melemah. Target pertumbuhan 8 persen pada 2029 tampak makin mustahil tercapai.
Kedua, kondisi internal birokrasi. Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) 2024 menunjukkan jumlah aparatur sipil negara (ASN) sekitar 4,1 juta orang, tetapi 38 persennya berusia di atas 45 tahun. Sementara yang muda (di bawah 35 tahun) masih rendah jumlahnya dan yang berkinerja hanya sekitar 40 persen.
Padahal, kebutuhan ASN unggul meningkat seiring kompleksitas tuntutan pembangunan. Ditambah cara kerja kaku, tak adaptif terhadap kemajuan, birokrasi berisiko kehilangan daya saing dan ketahanan kelembagaan jika peremajaan dan modernisasi tak segera dilakukan. Jelas, butuh perbaikan kinerja birokrasi dalam iklim politik saat ini (Kompas, 30/6/25).
Ini bukan soal teknis. Sudah lebih dari tiga dekade kita terjebak dalam jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap). Target pertumbuhan tinggi takkan cukup jika tak diikuti lompatan kapasitas birokrasi. Ekonomi bisa digenjot, tapi tanpa mesin birokrasi kuat, kendaraan bernama Indonesia takkan pernah sampai tujuan. Apakah birokrasi kita mampu membawa bangsa ini maju?
Modernisasi birokrasi
Jawabnya tak meyakinkan. Meski reformasi birokrasi dijalankan sejak pascareformasi—meritokrasi, digitalisasi, penyederhanaan struktur organisasi— pola kerjanya masih seperti abad ke-20: kaku, hierarkis, berbasis kehadiran fisik, dan cenderung administratif. Kita perlu birokrasi yang tak hanya bertahan, tetapi maju agar negeri juga maju.
Negara-negara maju punya kesamaan: birokrasinya profesional, berintegritas, dan berorientasi hasil. Ini bukan hanya soal disiplin administrasi, melainkan kemampuan untuk berpikir strategis, bekerja lintas sektor, dan merespons dinamika warga dengan gesit.
Korea Selatan mengubah birokrasi pascaperang menjadi motor inovasi dan layanan publik berbasis digital; Singapura birokrasinya ramping tetapi amat efisien dan meritokratik; Estonia memelopori birokrasi digital berprinsip digital- first dalam melayani warganya. Pelajarannya: jika mesin negara lambat, pembangunan terhambat. Jika mesinnya usang, energi seberapa pun akan terbuang.
Jadi, modernisasi birokrasi bukan isu teknis. Ia tuntutan kemajuan. Ia mesti dilihat sebagai upaya perbaikan sistem rekrutmen berbasis kompetensi, penyederhanaan regulasi, digitalisasi layanan publik, peningkatan kapasitas kepemimpinan, serta pergeseran budaya kerja dari sekadar kepatuhan menjadi berbasis kinerja dan capaian.
Gagasan fleksibilitas kerja (flexiwork) bagi ASN bukan hanya kebijakan sektoral, melainkan bagian dari modernisasi birokrasi yang adaptif terhadap disrupsi, relevan bagi generasi muda, dan kompetitif secara global. Ini cara konkret untuk menjawab tuntutan zaman tanpa kehilangan akuntabilitas sekaligus memperkuat kepercayaan publik lewat cara kerja yang lebih manusiawi dan berorientasi hasil.
”Flexiwork” bagi ASN
Untuk modernisasi birokrasi, flexiwork mungkin satu ide paling relevan. Pandemi Covid-19 mempercepat adopsi digitalisasi dan membuktikan banyak kerja administratif-manajerial tetap berjalan efektif tanpa kehadiran fisik.
Di sektor swasta, fleksibilitas kini jadi norma. Tetapi di sektor publik, ia memicu debat. Di satu sisi, flexiwork dilihat sebagai cara membuat birokrasi lebih adaptif, efisien, dan modern. Di sisi lain, ada kekhawatiran lunturnya disiplin, kaburnya akuntabilitas, dan lemahnya koordinasi. Ini cermin benturan dua paradigma: birokrasi lama berbasis kendali dan kehadiran fisik, versus birokrasi baru yang menekankan kepercayaan, kinerja, dan otonomi profesional.
Flexiwork bukan semata soal bekerja dari rumah (WFH) atau tempat lain (WFA), melainkan pergeseran paradigma: dari birokrasi yang berhitung jam kerja, menuju birokrasi yang berfokus kinerja.
Banyak negara maju menerapkannya secara strategis. Di Kanada, flexiwork jadi bagian dari strategi nasional untuk menarik dan mempertahankan ASN unggul. Di Inggris, civil service menerapkan program smart working yang memungkinkan kerja dari berbagai lokasi selama target tercapai. Australia mengintegrasikannya dalam reformasi Australian Public Service dengan penekanan pada keseimbangan kerja-hidup (work-life balance) dan layanan digital.
Indonesia juga mulai melangkah. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dab Reformasi Birokrasi (Permenpan dan RB) No 4/2025 menjadi dasar hukum yang resmi mengatur flexiwork.
Namun, ini bukan lisensi bermalas-malasan. Regulasi itu menetapkan parameter jelas: siapa yang bisa bekerja secara fleksibel, dalam kondisi apa, dan bagaimana kinerja harus tetap terukur. Jadi, fleksibilitas bukan pelepasan, melainkan reposisi, tanggung jawab—dari kehadiran fisik ke capaian hasil.
Jika dirancang dan berjalan benar, flexiwork akan memperkuat birokrasi: menjadi strategi untuk menarik talenta muda yang selama ini enggan bergabung karena birokrasi dinilai lamban, tak ramah inovasi, dan terlalu administratif.
Harus diakui, lulusan-lulusan terbaik jarang yang memilih menjadi ASN. Artinya, selama ini birokrasi kita dikelola bukan oleh mereka yang terbaik. Tentu ada pengecualian, tetapi bukan itu yang diharapkan. Maka, membangun lingkungan kerja yang fleksibel, manusiawi, dan berbasis hasil bukan hanya soal kenyamanan kerja. Ini soal keberlanjutan institusi negara.
Birokrasi yang tak membuka ruang bagi cara kerja baru akan ketinggalan zaman, tak ada regenerasi, dan gagal menjawab tantangan masa kini. Namun, birokrasi yang memberi ruang fleksibilitas—dengan pengawasan ketat dan akuntabilitas jelas—adalah cermin sistem yang matang, adaptif, dan siap membawa negeri ke masa depan.
Syarat
Ada empat syarat. Pertama, sistem pengukuran kinerja yang kredibel dan terstandar. Saat kehadiran fisik tak lagi jadi ukuran utama, yang mutlak itu adalah capaian kinerja.
Sistem e-kinerja sudah ada, tetapi implementasinya belum konsisten antar instansi dan belum terintegrasi optimal dengan e-planning dan e-budgeting. Pengukuran kinerja ini harus berbasis indikator spesifik: jumlah dan kualitas output, tenggat penyelesaian, dan dampak bagi publik. Tanpa itu, fleksibilitas jadi sumber penyalahgunaan diskresi.
Kedua, infrastruktur digital yang memadai dan merata. Kesenjangan digital antar lembaga dan wilayah masih tinggi. Kesiapan digital ASN juga bervariasi.
Menurut BKN (2023), lebih dari 30 persen ASN daerah tak punya perangkat kerja memadai dan akses internet. Platform kolaboratif yang aman dan terintegrasi juga minim. Tanpa infrastruktur dan literasi digital, flexiwork hanya akan memperdalam ketimpangan dan menurunkan produktivitas.
Ketiga, budaya kerja berbasis kepercayaan dan tanggung jawab. Saat ini birokrasi bekerja hierarkis dengan micromanagement dan kepatuhan prosedural. Ini tak lagi memadai. Perlu budaya baru: otonomi profesional, penilaian berbasis output, dan relasi pimpinan-staf yang kolaboratif.
Keberhasilan reformasi birokrasi bergantung pada kepemimpinan yang mendorong inovasi, memberi ruang dialog, dan mendukung pembelajaran dari kesalahan (OECD, 2021; UNDP, 2020).
Di Indonesia, Lembaga Administrasi Negara (LAN) mengembangkan budaya kerja ASN berbasis integritas, nasionalisme, etos kerja, gotong royong, dan orientasi pelayanan. Tantangannya adalah internalisasi nilai-nilai ini di tengah kultur birokrasi yang cenderung formalistis dan resisten pada perubahan.
Keempat, kepemimpinan adaptif yang paham arah
perubahan. Flexiwork menuntut pemimpin yang paham konteks, bisa memfasilitasi transisi, dan membangun kepercayaan di tengah ketidakpastian. Di Finlandia, kebijakan fleksibilitas dipimpin pimpinan lembaga berbasis kepercayaan (trust-based leadership). Di Selandia Baru, kepala lembaga wajib menyusun strategi flexiwork yang dilaporkan secara publik.
Di Singapura, Civil Service College mengintegrasikan pelatihan kepemimpinan digital untuk semua pejabat publik.
Indonesia perlu menempuh jalan serupa. Kepemimpinan birokrasi era baru harus punya literasi digital, empati sosial, kapasitas manajerial, dan visi transformasi.
OECD(2025) menegaskan, kepemimpinan adalah ”pembeda antara kebijakan yang menjadi kenyataan dan yang tinggal di atas kertas”.
Tanpa semua itu, flexiwork hanya jargon, bukan solusi. Maka, kesiapan kelembagaan, bukan hanya regulasi, adalah kunci implementasi dan pijakan mengelola risikonya.
Risiko
Risiko utama flexiwork adalah turunnya kinerja jika tanpa pengawasan adaptif berbasis hasil. Dalam birokrasi yang belum matang, fleksibilitas mudah disalahartikan sebagai pelonggaran disiplin. Tanpa ukuran kinerja yang jelas dan evaluasi ketat, ASN bisa lepas dari akuntabilitas. Padahal, birokrasi yang sehat menuntut kapasitas institusional, norma internal kuat, dan pengawasan eksternal seimbang (Fukuyama, 2013).
Tantangan lain adalah persepsi publik. Flexiwork sering diasosiasikan dengan kemalasan atau lari dari tanggung jawab, terutama bagi warga yang terbiasa melihat ASN hadir fisik. Persepsi ini tak sepenuhnya keliru, apalagi jika kebijakan tak dikomunikasikan dengan baik atau hasilnya tak tampak. Wajah birokrasi masih sangat bergantung kehadiran langsung di ruang publik—dan bila ”wajah” itu hilang tiba-tiba, kepercayaan pun terkikis (Lipsky, 1980).
Maka, komunikasi publik menjadi krusial: mesti transparan, proaktif, dan berbasis hasil. Pemerintah tak cukup hanya menjelaskan kebijakan, tetapi kinerja juga harus ditunjukkan.
Menghadapi risiko ini, flexiwork harus berprinsip trust, but verify. ASN diberi ruang mengatur cara kerjanya, tetapi tetap dalam koridor tanggung jawab dan pengukuran obyektif. Ini sejalan dengan performance-based accountability (Behn, 2001): fokus pengawasan bergeser dari prosedur ke hasil, dari kehadiran ke kinerja. Maka, penguatan sistem evaluasi, pelaporan terbuka, dan budaya saling-percaya itu wajib agar fleksibilitas tak berubah jadi disfungsionalitas.
Melangkah ke depan
Esensi flexiwork bukan pada di mana ASN bekerja, melainkan bagaimana dan untuk apa ia bekerja. Birokrasi yang hadir fisik dari pukul 08.00 hingga pukul 17.00 belum tentu menghasilkan kebijakan tajam atau layanan bermutu.
Sebaliknya, birokrasi dengan cara bekerja baru—berbasis nalar, inovasi, dan tanggung jawab—lebih mungkin melahirkan terobosan.
Birokrasi itu mesin pemerintahan. Jika mesin tak sehat, kendaraan takkan jauh melaju, sehebat apa pun kemudi dan mulusnya bodi. Kini, karena gejala mogok itu nyata, mesin mesti jadi perhatian utama kita. Ia harus diperbarui agar kuat menjalani medan baru: zaman dengan disrupsi teknologi, tuntutan efisiensi, dan ekspektasi publik yang semakin tinggi.
Modernisasi birokrasi lewat fleksibilitas bukan soal teknis, melainkan soal kedewasaan bernegara. Memberi ruang untuk cara kerja baru—dan menagih hasilnya dengan adil dan transparan—adalah ujian sejauh mana negeri ini percaya pada birokrasinya sendiri.
Sebab, tanpa birokrasi sebagai mesin yang sehat, kendaraan bernama Indonesia ini tidak akan sungguh-sungguh bisa melaju ke depan.
Yanuar Nugroho,
Dosen STF Driyarkara Jakarta, Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura, Anggota AIPI, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015- 2019
Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas 08 Juli 2025.
Ekonomi bisa digenjot, tapi tanpa mesin birokrasi kuat, kendaraan bernama Indonesia takkan pernah sampai tujuan. Apakah birokrasi kita mampu membawa bangsa ini maju?
Dalam riuh rendah pembangunan mengejar realisasi janji politik pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, reformasi birokrasi tampak tertinggal dalam senyap.
Kabinet yang membengkak dengan menteri nonprofesional, ditambah penunjukan langsung sejumlah pejabat eselon 1a tanpa seleksi terbuka, seolah mematikan sistem meritokrasi yang susah payah dibangun. Dengan pendekatan politik- militeristik, birokrasi kian kaku, dan meminggirkan nalar kelembagaan.
Padahal, birokrasi itu mesin pemerintahan. Seperti kendaraan, pemilik sering sibuk memperindah tampilan luar, lupa memperhatikan mesin, kecuali saat mogok. Begitulah birokrasi: selama sistem berjalan, perhatian padanya nyaris tiada. Padahal, tanda-tanda mogok jelas di depan mata.
Mogoknya mesin pembangunan
Pertama, janji-janji politik terancam gagal karena lemahnya eksekusi. Hingga Juni 2025, baru 3 juta dari target 82,9 juta siswa menerima Makan Bergizi Gratis (MBG) dipenuhi, itu pun dengan ribuan kasus keracunan dan banyak mitra belum dibayar. Janji 3 juta rumah gratis belum jelas arah kebijakannya.
Target 500—atau 200—sekolah rakyat untuk tahun ajaran 2025/2026 masih kabur. Program perluasan bantuan sosial (bansos) dan mengatasi kemiskinan ekstrem belum tereksekusi mulus karena pemadanan Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) dengan NIK belum tuntas. Sementara itu, berbagai indikator ekonomi makro melemah. Target pertumbuhan 8 persen pada 2029 tampak makin mustahil tercapai.
Kedua, kondisi internal birokrasi. Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) 2024 menunjukkan jumlah aparatur sipil negara (ASN) sekitar 4,1 juta orang, tetapi 38 persennya berusia di atas 45 tahun. Sementara yang muda (di bawah 35 tahun) masih rendah jumlahnya dan yang berkinerja hanya sekitar 40 persen.
Padahal, kebutuhan ASN unggul meningkat seiring kompleksitas tuntutan pembangunan. Ditambah cara kerja kaku, tak adaptif terhadap kemajuan, birokrasi berisiko kehilangan daya saing dan ketahanan kelembagaan jika peremajaan dan modernisasi tak segera dilakukan. Jelas, butuh perbaikan kinerja birokrasi dalam iklim politik saat ini (Kompas, 30/6/25).
Ini bukan soal teknis. Sudah lebih dari tiga dekade kita terjebak dalam jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap). Target pertumbuhan tinggi takkan cukup jika tak diikuti lompatan kapasitas birokrasi. Ekonomi bisa digenjot, tapi tanpa mesin birokrasi kuat, kendaraan bernama Indonesia takkan pernah sampai tujuan. Apakah birokrasi kita mampu membawa bangsa ini maju?
Modernisasi birokrasi
Jawabnya tak meyakinkan. Meski reformasi birokrasi dijalankan sejak pascareformasi—meritokrasi, digitalisasi, penyederhanaan struktur organisasi— pola kerjanya masih seperti abad ke-20: kaku, hierarkis, berbasis kehadiran fisik, dan cenderung administratif. Kita perlu birokrasi yang tak hanya bertahan, tetapi maju agar negeri juga maju.
Negara-negara maju punya kesamaan: birokrasinya profesional, berintegritas, dan berorientasi hasil. Ini bukan hanya soal disiplin administrasi, melainkan kemampuan untuk berpikir strategis, bekerja lintas sektor, dan merespons dinamika warga dengan gesit.
Korea Selatan mengubah birokrasi pascaperang menjadi motor inovasi dan layanan publik berbasis digital; Singapura birokrasinya ramping tetapi amat efisien dan meritokratik; Estonia memelopori birokrasi digital berprinsip digital- first dalam melayani warganya. Pelajarannya: jika mesin negara lambat, pembangunan terhambat. Jika mesinnya usang, energi seberapa pun akan terbuang.
Jadi, modernisasi birokrasi bukan isu teknis. Ia tuntutan kemajuan. Ia mesti dilihat sebagai upaya perbaikan sistem rekrutmen berbasis kompetensi, penyederhanaan regulasi, digitalisasi layanan publik, peningkatan kapasitas kepemimpinan, serta pergeseran budaya kerja dari sekadar kepatuhan menjadi berbasis kinerja dan capaian.
Gagasan fleksibilitas kerja (flexiwork) bagi ASN bukan hanya kebijakan sektoral, melainkan bagian dari modernisasi birokrasi yang adaptif terhadap disrupsi, relevan bagi generasi muda, dan kompetitif secara global. Ini cara konkret untuk menjawab tuntutan zaman tanpa kehilangan akuntabilitas sekaligus memperkuat kepercayaan publik lewat cara kerja yang lebih manusiawi dan berorientasi hasil.
”Flexiwork” bagi ASN
Untuk modernisasi birokrasi, flexiwork mungkin satu ide paling relevan. Pandemi Covid-19 mempercepat adopsi digitalisasi dan membuktikan banyak kerja administratif-manajerial tetap berjalan efektif tanpa kehadiran fisik.
Di sektor swasta, fleksibilitas kini jadi norma. Tetapi di sektor publik, ia memicu debat. Di satu sisi, flexiwork dilihat sebagai cara membuat birokrasi lebih adaptif, efisien, dan modern. Di sisi lain, ada kekhawatiran lunturnya disiplin, kaburnya akuntabilitas, dan lemahnya koordinasi. Ini cermin benturan dua paradigma: birokrasi lama berbasis kendali dan kehadiran fisik, versus birokrasi baru yang menekankan kepercayaan, kinerja, dan otonomi profesional.
Flexiwork bukan semata soal bekerja dari rumah (WFH) atau tempat lain (WFA), melainkan pergeseran paradigma: dari birokrasi yang berhitung jam kerja, menuju birokrasi yang berfokus kinerja.
Banyak negara maju menerapkannya secara strategis. Di Kanada, flexiwork jadi bagian dari strategi nasional untuk menarik dan mempertahankan ASN unggul. Di Inggris, civil service menerapkan program smart working yang memungkinkan kerja dari berbagai lokasi selama target tercapai. Australia mengintegrasikannya dalam reformasi Australian Public Service dengan penekanan pada keseimbangan kerja-hidup (work-life balance) dan layanan digital.
Indonesia juga mulai melangkah. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dab Reformasi Birokrasi (Permenpan dan RB) No 4/2025 menjadi dasar hukum yang resmi mengatur flexiwork.
Namun, ini bukan lisensi bermalas-malasan. Regulasi itu menetapkan parameter jelas: siapa yang bisa bekerja secara fleksibel, dalam kondisi apa, dan bagaimana kinerja harus tetap terukur. Jadi, fleksibilitas bukan pelepasan, melainkan reposisi, tanggung jawab—dari kehadiran fisik ke capaian hasil.
Jika dirancang dan berjalan benar, flexiwork akan memperkuat birokrasi: menjadi strategi untuk menarik talenta muda yang selama ini enggan bergabung karena birokrasi dinilai lamban, tak ramah inovasi, dan terlalu administratif.
Harus diakui, lulusan-lulusan terbaik jarang yang memilih menjadi ASN. Artinya, selama ini birokrasi kita dikelola bukan oleh mereka yang terbaik. Tentu ada pengecualian, tetapi bukan itu yang diharapkan. Maka, membangun lingkungan kerja yang fleksibel, manusiawi, dan berbasis hasil bukan hanya soal kenyamanan kerja. Ini soal keberlanjutan institusi negara.
Birokrasi yang tak membuka ruang bagi cara kerja baru akan ketinggalan zaman, tak ada regenerasi, dan gagal menjawab tantangan masa kini. Namun, birokrasi yang memberi ruang fleksibilitas—dengan pengawasan ketat dan akuntabilitas jelas—adalah cermin sistem yang matang, adaptif, dan siap membawa negeri ke masa depan.
Syarat
Ada empat syarat. Pertama, sistem pengukuran kinerja yang kredibel dan terstandar. Saat kehadiran fisik tak lagi jadi ukuran utama, yang mutlak itu adalah capaian kinerja.
Sistem e-kinerja sudah ada, tetapi implementasinya belum konsisten antar instansi dan belum terintegrasi optimal dengan e-planning dan e-budgeting. Pengukuran kinerja ini harus berbasis indikator spesifik: jumlah dan kualitas output, tenggat penyelesaian, dan dampak bagi publik. Tanpa itu, fleksibilitas jadi sumber penyalahgunaan diskresi.
Kedua, infrastruktur digital yang memadai dan merata. Kesenjangan digital antar lembaga dan wilayah masih tinggi. Kesiapan digital ASN juga bervariasi.
Menurut BKN (2023), lebih dari 30 persen ASN daerah tak punya perangkat kerja memadai dan akses internet. Platform kolaboratif yang aman dan terintegrasi juga minim. Tanpa infrastruktur dan literasi digital, flexiwork hanya akan memperdalam ketimpangan dan menurunkan produktivitas.
Ketiga, budaya kerja berbasis kepercayaan dan tanggung jawab. Saat ini birokrasi bekerja hierarkis dengan micromanagement dan kepatuhan prosedural. Ini tak lagi memadai. Perlu budaya baru: otonomi profesional, penilaian berbasis output, dan relasi pimpinan-staf yang kolaboratif.
Keberhasilan reformasi birokrasi bergantung pada kepemimpinan yang mendorong inovasi, memberi ruang dialog, dan mendukung pembelajaran dari kesalahan (OECD, 2021; UNDP, 2020).
Di Indonesia, Lembaga Administrasi Negara (LAN) mengembangkan budaya kerja ASN berbasis integritas, nasionalisme, etos kerja, gotong royong, dan orientasi pelayanan. Tantangannya adalah internalisasi nilai-nilai ini di tengah kultur birokrasi yang cenderung formalistis dan resisten pada perubahan.
Keempat, kepemimpinan adaptif yang paham arah
perubahan. Flexiwork menuntut pemimpin yang paham konteks, bisa memfasilitasi transisi, dan membangun kepercayaan di tengah ketidakpastian. Di Finlandia, kebijakan fleksibilitas dipimpin pimpinan lembaga berbasis kepercayaan (trust-based leadership). Di Selandia Baru, kepala lembaga wajib menyusun strategi flexiwork yang dilaporkan secara publik.
Di Singapura, Civil Service College mengintegrasikan pelatihan kepemimpinan digital untuk semua pejabat publik.
Indonesia perlu menempuh jalan serupa. Kepemimpinan birokrasi era baru harus punya literasi digital, empati sosial, kapasitas manajerial, dan visi transformasi.
OECD(2025) menegaskan, kepemimpinan adalah ”pembeda antara kebijakan yang menjadi kenyataan dan yang tinggal di atas kertas”.
Tanpa semua itu, flexiwork hanya jargon, bukan solusi. Maka, kesiapan kelembagaan, bukan hanya regulasi, adalah kunci implementasi dan pijakan mengelola risikonya.
Risiko
Risiko utama flexiwork adalah turunnya kinerja jika tanpa pengawasan adaptif berbasis hasil. Dalam birokrasi yang belum matang, fleksibilitas mudah disalahartikan sebagai pelonggaran disiplin. Tanpa ukuran kinerja yang jelas dan evaluasi ketat, ASN bisa lepas dari akuntabilitas. Padahal, birokrasi yang sehat menuntut kapasitas institusional, norma internal kuat, dan pengawasan eksternal seimbang (Fukuyama, 2013).
Tantangan lain adalah persepsi publik. Flexiwork sering diasosiasikan dengan kemalasan atau lari dari tanggung jawab, terutama bagi warga yang terbiasa melihat ASN hadir fisik. Persepsi ini tak sepenuhnya keliru, apalagi jika kebijakan tak dikomunikasikan dengan baik atau hasilnya tak tampak. Wajah birokrasi masih sangat bergantung kehadiran langsung di ruang publik—dan bila ”wajah” itu hilang tiba-tiba, kepercayaan pun terkikis (Lipsky, 1980).
Maka, komunikasi publik menjadi krusial: mesti transparan, proaktif, dan berbasis hasil. Pemerintah tak cukup hanya menjelaskan kebijakan, tetapi kinerja juga harus ditunjukkan.
Menghadapi risiko ini, flexiwork harus berprinsip trust, but verify. ASN diberi ruang mengatur cara kerjanya, tetapi tetap dalam koridor tanggung jawab dan pengukuran obyektif. Ini sejalan dengan performance-based accountability (Behn, 2001): fokus pengawasan bergeser dari prosedur ke hasil, dari kehadiran ke kinerja. Maka, penguatan sistem evaluasi, pelaporan terbuka, dan budaya saling-percaya itu wajib agar fleksibilitas tak berubah jadi disfungsionalitas.
Melangkah ke depan
Esensi flexiwork bukan pada di mana ASN bekerja, melainkan bagaimana dan untuk apa ia bekerja. Birokrasi yang hadir fisik dari pukul 08.00 hingga pukul 17.00 belum tentu menghasilkan kebijakan tajam atau layanan bermutu.
Sebaliknya, birokrasi dengan cara bekerja baru—berbasis nalar, inovasi, dan tanggung jawab—lebih mungkin melahirkan terobosan.
Birokrasi itu mesin pemerintahan. Jika mesin tak sehat, kendaraan takkan jauh melaju, sehebat apa pun kemudi dan mulusnya bodi. Kini, karena gejala mogok itu nyata, mesin mesti jadi perhatian utama kita. Ia harus diperbarui agar kuat menjalani medan baru: zaman dengan disrupsi teknologi, tuntutan efisiensi, dan ekspektasi publik yang semakin tinggi.
Modernisasi birokrasi lewat fleksibilitas bukan soal teknis, melainkan soal kedewasaan bernegara. Memberi ruang untuk cara kerja baru—dan menagih hasilnya dengan adil dan transparan—adalah ujian sejauh mana negeri ini percaya pada birokrasinya sendiri.
Sebab, tanpa birokrasi sebagai mesin yang sehat, kendaraan bernama Indonesia ini tidak akan sungguh-sungguh bisa melaju ke depan.
Yanuar Nugroho,
Dosen STF Driyarkara Jakarta, Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura, Anggota AIPI, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015- 2019
Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas 08 Juli 2025.