Opini

no image

Ketika Hukum Mengabaikan Etika

02 April 2024
Oleh : SJ. Johannes Haryatmoko
Unduh PDF


Kepastian hukum jadi senjata untuk menyerang etika yang dianggap abstrak dan lemah dalam penegakannya.
Thrasymachus, dalam The Republic, mengatakan dengan sinis, tapi sangat jeli: ”Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat”.

Jika bertolak dari definisi ”adil” sebagai yang sesuai dengan hukum atau dengan apa yang dianjurkan oleh kebiasaan dan hukum di dalam Polis, adil berarti identik dengan kehendak penguasa. Akibatnya, yang adil disamakan dengan yang legal, padahal sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. Maka, keadilan tidak lain kecuali semua yang menguntungkan bagi yang kuat. Masalahnya, setiap rezim membuat hukum untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya.

Sebagai reaksi terhadap kentalnya kepentingan penguasa di balik hukum, muncul suara kritis yang ingin mengoreksi: ”Yang legal belum tentu moral”. Secara hukum, Mahkamah Konstitusi (MK) punya wewenang untuk memutuskan batas usia cawapres, tetapi dari sisi etika dianggap sebagai bentuk pelanggaran. Bagaimana bisa begitu sering terjadi, hukum mengabaikan etika?

Etika, sebagai refleksi filosofis tentang baik-jahat tindakan, perilaku dan keputusan, mendasarkan pertimbangannya dari penilaian terhadap maksud, cara/sarana, tujuan, konteks, hasil/akibat, pilihan kata, atau kesadaran subyek.

 Maka, peran etika adalah untuk mempertajam makna tanggung jawab sehingga sangat peduli akan pencegahan, pembinaan, pendidikan, dan internalisasi nilai-nilai. Sementara hukum berfungsi mengorganisasi tanggung jawab melalui sanksi atau ancaman hukuman. Tujuan hukum untuk menjaga ketertiban tatanan masyarakat agar aman, adil, dan sejahtera. Tekanan hukum diletakkan pada penindakan dengan menegakkan aturan dan menghukum.

Masalahnya, hukum mudah diubah seturut keinginan pembuat UU, sedangkan etika tidak bisa begitu saja diubah dan harus mempertimbangkan rasa keadilan, hormat akan martabat manusia, kejujuran, solidaritas, toleransi, kebiasaan, dan konteks budaya. Kelemahan etika terletak pada sisi penegakannya, karena hanya mengandalkan pada sanksi sosial, suara hati, dan agama. Padahal, agama tak bisa memaksa. Hukum berbeda dari etika karena hukum didukung oleh otoritas sah untuk memberikan sanksi terhadap pelanggarannya. Jadi, hukum dianggap lebih konkret daripada etika berkat kepastian hukum.

Arogansi positivisme hukum

Kepastian hukum jadi senjata untuk menyerang etika yang dianggap abstrak dan lemah dalam penegakannya. Machiavelli dalam The Prince mengatakan, tak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksakannya. Baru sesudahnya hak dan hukum akan melegitimasi kekuatan itu. Dengan demikian, jarak antara hukum dan kekuatan dihapus.

Dengan kritis dan tajam, dia menyebut hukum adalah nama yang diberikan secara a posteriori oleh penguasa atas kelupaannya: lupa asal-usul kekuasaan. Asal-usul kekuasaan adalah kekerasan. Hobbes dengan penuh realisme lebih meyakinkan lagi ”Perjanjian tanpa pedang adalah kata-kata kosong” (Leviathan XVIII), artinya harus ada penguasa yang kuat untuk memaksakan hukum. Pragmatisme hukum semacam ini mendorong arogansi positivisme hukum.

Arogansi positivisme hukum membuat kian relevan sindiran Thrasymachus, yang sebetulnya kritik pedas terhadap hukum ketika ”hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat”.

Mitos positivisme hukum ialah ada kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan keyakinan seakan hukum itu realitas yang dibuat secara sempurna. Hukum dipahami sebagai ”korpus aturan yang koheren siap untuk diterapkan oleh hakim yang terlatih dan terampil dalam deduksi silogistis sehingga dapat menemukan jawaban tepat terhadap masalah dengan kepastian” (Tebbit, 2000: 25).

Politik tak bisa dilepaskan dari campur tangan kekuatan-kekuatan dalam sejarah: parpol, militer, gerakan mahasiswa, atau gerakan buruh.

Padahal, realitas hukum justru tidak pasti. Masalah hukum menuntut pencarian keseimbangan antara prinsip, kebijakan, dan asumsi yang tak tersurat. Pencarian keseimbangan itu tidak pasti. Bukti ketidakpastian itu tampak pada adanya beragam tafsir hukum yang mengatur satu kasus yang sama. Di kasus perzinaan, ada yang dihukum berat, dibebaskan, atau kasusnya ditutup.

Para pemegang prinsip adanya kepastian hukum mengabaikan bukan hanya adanya jurang antara teori dan praktik, melainkan juga perbedaan antara hukum tertulis dan interpretasinya. Interpretasi hukum sebagai korpus aturan ternyata bisa diterapkan pada kasus yang berlawanan dengan aturan yang disesuaikan, berubah dan ditemukan setiap hari di seluruh yurisdiksi di Indonesia.

Dalam kepastian hukum terkandung klaim kesahihan interpretasi dari berbagai pihak. Menurut Tebbit, ideal kepastian hukum menggantungkan diri pada formalisme hukum sehingga kurang menggali roh atau substansi hukum. Akibatnya etika diabaikan. Model penafsiran ini menganggap faktor sosial lain tak relevan. Mengikuti aturan demi aturan berarti menyingkirkan rasa keadilan dalam menilai kasus khusus. Padahal, kekhasan suatu kasus justru harus ditemukan dalam substansi situasi konkretnya, bukan dalam aturan formal yang seakan bisa disesuaikan dengan kasus.

Akar masalah dari seluruh prosedur itu terletak pada penilaian di balik penalarannya yang sering tak terungkap atau tanpa disadari. Padahal, penilaian pribadi yang mendahului ketetapan hukum atau penilaian sebelum proses penalaran sering lebih menentukan.

Maka, perlu mengangkat ke permukaan argumen yang disembunyikan dalam rasionalisasi penilaian. Caranya, menggeser fokus studi tentang logika hukum ke studi tentang faktor eksplisit dan tidak disadari yang justru paling berpengaruh dalam menyeleksi kesimpulan dan keputusan hakim seperti politik, uang, sosial, relasi dan kepentingan pribadi (Tebbit, 200:29). Jadi, ideal kepastian hukum yang melandaskan pada formalisme hukum itu jadi penyebab etika diabaikan. Bagaimana intensitas pengabaian hukum terhadap etika atau sejauh mana hukum rela memperhitungkan etika sangat tergantung pada pola hubungan di antara keduanya.

Lima pola hubungan etika-hukum

Lima pola hubungan antara etika dan hukum ini mendasarkan pada asumsi bahwa hukum adalah produk politik.

Menurut Jean Ladrière, filsuf Belgia, lima pola hubungan antara etika dan hukum meliputi (1986):

(i) etika menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik. Upaya nyata dilakukan untuk mencapai ideal nilai-nilai etika, tapi sesempurna apa pun usaha itu takkan pernah bisa menyamai ideal ini.

Penganut hukum kodrat biasanya menggunakan pola hubungan ini karena etika dianggap sebagai jiwa hukum positif. Kehidupan politik seharusnya mencerminkan kehidupan penuh tanggung jawab seperti digariskan etika politik.

Pemikir seperti Thomas Aquinas menekankan: ”Hukum positif pada hakikatnya mengatur kehidupan bersama sejauh ambil bagian dalam akal budi yang benar atau lurus (hukum kodrat), tapi bila menyimpang dari rasio yang jernih, hukum dianggap tidak adil, maka hakikat hukum bukan lagi membuat tatanan, tapi malahan menjadi dasar kekerasan (ST Q.93, Art.3). Dalam pola hubungan seperti ini, hukum menganggap etika sebagai nilai ideal tapi abstrak sehingga tuntutannya dianggap melemahkan sisi kepastian hukum.

(ii) Perjalanan sejarah konkret memberi bentuk etika dan eksistensi kolektif. Kodifikasi hukum positif yang diberlakukan bisa memberi bentuk etika dan eksistensi kolektif. Pewujudan nilai etika berlangsung dalam pertarungan kekuatan dan kekuasaan, yang penuh konflik kepentingan. Penggerak pewujudan etika berlangsung seiring perjuangan melalui parpol, birokrasi, hukum, institusi yang diwarnai alokasi sumber daya ekonomi. Hukum positif menjadi bentuk pelembagaan etika sebagai kehendak baik yang mengorganisasi tanggung jawab.

Pertaruhan dalam pelembagaan etika ini menyangkut siapa diuntungkan atau siapa dirugikan oleh hukum atau institusi. Dalam pola hubungan ini, etika hanya diperhitungkan bila menjadi bagian dari aspirasi perjuangan politik praktis dengan menyusupkan agen-agen perubahan di berbagai parpol. Misalnya, model diaspora kader-kader Muhammadiyah yang tersebar di berbagai partai dan lembaga negara. Risikonya, aspirasi etikanya bisa dikandaskan oleh mesin partai atau mesin birokrasi.

(iii) Voluntarisme etika. Pola hubungan ini menempatkan etika sebagai nilai yang tak mungkin bisa sepenuhnya terwujud dalam hukum. Di satu sisi, hanya dalam kehidupan politik nyata, etika bisa memiliki makna. Di sisi lain, etika dimengerti sebagai sesuatu yang transenden yang tak dapat direduksi ke dalam hukum dan politik. Untuk menjamin kesinambungan etika dan hukum hanya dengan menerapkan pemahaman kehendak sebagai kehendak murni, seakan kehendak identik dengan tindakan.

Melalui politik etika menjadi efektif dengan diterjemahkan ke dalam hukum, aturan lembaga negara, dan upaya kesejahteraan/keadilan.

Implikasinya ada dua pilihan: pertama, pilihan reformasi terus-menerus, artinya nilai-nilai etika diwujudkan dalam kehidupan konkret, meski skeptis akan keberhasilannya; kedua, melalui revolusi puritan (Taliban Afghanistan dan semua negara teokrasi). Ada kehendak moral yang yakin bahwa penerapan tuntutan nilai etika bisa dengan pemaksaan ke semua anggota masyarakat.

(iv) Etika berada di luar politik, tetapi selalu kritis. Dimensi etika menjadi semacam penilaian dari luar, yang berasal dari suatu otoritas (intelektual, religius, adat, organisasi sosial). Otoritas ini bukan kekuatan efektif karena tak memiliki organ/jalur langsung untuk menentukan hukum. Pola hubungan ini mirip dengan peran profetik/kenabian, dalam arti nabi sebagai yang mengetahui dan dapat meramalkan pentingnya nilai-nilai, tapi tak bisa berbuat apa-apa dalam memengaruhi hukum karena ada di luar politik. Pola hubungan etika dan hukum semacam ini bersifat konfliktual.

Tampaknya situasi ini yang sedang berlangsung di Indonesia dewasa ini di mana sebagai reaksi terhadap pelanggaran di MK, banyak akademisi dan tokoh agama protes dan mempertanyakan dasar legitimitas Pilpres 2024. Perjuangan para akademisi hanya akan berdampak bila masuk untuk mengadopsi pola hubungan yang kelima berikut ini.

(v) Politik dan hukum dikaitkan dengan campur tangan kekuatan dalam sejarah. Maka, etika harus terlibat masuk ke politik. Politik tak bisa dilepaskan dari campur tangan kekuatan-kekuatan dalam sejarah: parpol, militer, gerakan mahasiswa, atau gerakan buruh. Karena itu, keprihatinan etis kaum intelektual harus bisa disosialisasikan dan jadi inspirasi perjuangan politik kekuatan-kekuatan itu. Kekuatan ini sebagai tindakan kolektif akan berhasil dengan melandaskan diri pada mesin institusional.

Etika sebagai salah satu dimensi sejarah sebagai etika konkret, tak hanya bentuk tindakan. Maka, interaksi sosial yang dominan diarahkan ke kekuasaan dan moralitas (A Giddens, 1993), meski hubungan keduanya ambigu karena kekuasaan cenderung menentukan legitimasi.

Maka, etika berbagi lahan dengan politik. Melalui politik etika menjadi efektif dengan diterjemahkan ke dalam hukum, aturan lembaga negara, dan upaya kesejahteraan/keadilan. Tapi, etika tak bisa direduksi ke politik karena yang sesuai dengan hukum belum tentu sesuai dengan keadilan. Hukum merupakan hasil negosiasi dan konsesi. Dalam sejarah, politik selalu menggunakan etika hanya untuk mendapatkan legitimasi.

Demokrasi, etika politik, dan sumber hukum

Dari kelima pola hubungan di atas, hanya pola ketiga, voluntarisme etika, yang sisi revolusi puritan bertentangan dengan Pancasila, tak sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika, karena hanya sepihak memaksakan nilai etika agama tertentu saja. Pola hubungan kedua dan kelima mampu menjelaskan mengapa penguasa yang dipilih melalui proses demokrasi bisa merusak, bahkan menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi karena kepentingannya untuk mempertahankan kekuasaan (Hitler, Juan Peron, Fujimori, Hugo Chavez, Putin).

Hukum akan mengabaikan atau bahkan membungkam etika. Maka, perjuangan semua warga negara kompeten ialah mengusahakan agar hukum selalu diarahkan oleh etika politik, yaitu semakin memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi agar lebih adil (P Ricoeur, 1990). Dengan demikian, bangsa akan dihindarkan dari tirani kekuasaan atas nama hukum.

 

Haryatmoko,
Anggota Komisi Kebudayaan, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas, 2 April 2024

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.