Opini

no image

Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi

20 February 2024
Oleh : Satryo S. Brodjonegoro
Unduh PDF


Tugas BUMN merintis industri manufaktur bernilai tambah tinggi untuk kemudian diserahkan kepada swasta untuk dijalankan.

Masih rendahnya angka partisipasi kasar pendidikan tinggi atau APK PT di Indonesia disoroti dalam Tajuk Rencana Kompas (31/1/2024). APK PT pada 2024 adalah 39,37 persen, di bawah rata-rata global yang 40 persen. Bahkan, lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia (43 persen), Thailand (49,29 persen), dan Singapura (91,09 persen). Kendala utamanya faktor ekonomi, yakni biaya kuliah yang tinggi.

APK PT digunakan untuk mengetahui berapa banyak penduduk usia 17-24 tahun yang menempuh pendidikan tinggi. Negara dengan APK PT lebih tinggi punya peluang menjadi negara maju karena kualitas SDM-nya tinggi. Asumsi yang digunakan untuk menjadi negara maju, APK PT harus tinggi.

Maka, segala daya upaya dilakukan untuk peningkatan APK PT. Salah satunya dengan memberikan dukungan finansial bagi para mahasiswa.

Penggunaan ndustry APK PT sebagai ukuran negara maju tampaknya harus dicermati, apakah APK PT yang tinggi menyebabkan negara menjadi maju, atau sebaliknya APK PT tinggi karena negaranya maju?

Tugas BUMN merintis ndustry manufaktur bernilai tambah tinggi untuk kemudian diserahkan kepada swasta untuk menjalankannya secara komersial.

Investasi simultan

Salah satu cara peningkatan APK PT bagi negara berkembang, seperti dilakukan Korsel dan China, awalnya adalah melakukan investasi simultan di pendidikan tinggi dan industri dalam negeri. Jika hanya investasi industri, tenaga ahli asing yang berperan. Dan, jika hanya investasi pendidikan tinggi, tak ada peluang kerja dalam negeri.

Persoalan biaya kuliah tinggi yang menyulitkan mahasiswa perlu diselesaikan dengan terlebih dulu menemukenali akar masalahnya. Persoalan bukan terletak pada besaran uang kuliah yang wajar dan adil, juga bukan karena pemerintah tak punya kecukupan anggaran.

Selama ini ada anggapan masyarakat bahwa uang kuliah harus murah, sedangkan pemerintah menyatakan anggaran pendidikan sangat terbatas. Hal ini karena baik masyarakat maupun pemerintah menganggap pendidikan sebagai beban yang memberatkan sehingga dilakukan berbagai upaya agar pendidikan menjadi murah.

Pendidikan tak seharusnya dianggap sebagai beban, tetapi investasi masa depan. Investasi tak akan memberi manfaat berwujud dan nirwujud secara instan, tetapi jangka panjang, bahkan lebih panjang daripada periode pemerintah yang lima tahun. Investasi yang makin besar akan memberikan manfaat yang lebih besar lagi, dan investasi pendidikan tak akan pernah rugi karena pasti memberikan manfaat nirwujud yang signifikan.

Sudah selayaknya pemerintah berinvestasi pendidikan secara signifikan dengan melakukan reformasi skema penganggaran dari berbasis mata anggaran menjadi berbasis hibah utuh. Pemerintah tak lagi menganggarkan biaya pendidikan, tetapi menghibahkan dana pendidikan. Saat bersamaan, masyarakat harus berubah pola pikir bahwa pendidikan bukanlah beban, melainkan investasi masa depan.

Pemerintah seyogianya melakukan investasi industri dalam negeri sehingga mampu meningkatkan kualitas produknya melalui proses transfer teknologi agar isu kualitas bisa teratasi. Pemerintah setiap tahun juga mengalokasikan anggaran ke kementerian terkait untuk pengadaan sarana-prasarana dan infrastruktur yang diproduksi di dalam negeri secara masif sesuai kapasitas industri.

Dengan demikian, ada kepastian untuk industri berproduksi massal sehingga harga produk akan kompetitif. Upaya peningkatan kualitas dan daya saing industri harus dilakukan BUMN melalui penugasan pemerintah. Tugas BUMN merintis industri manufaktur bernilai tambah tinggi untuk kemudian diserahkan kepada swasta untuk menjalankannya secara komersial.

Dengan demikian, terjadi sinergi kondusif BUMN dengan swasta yang mampu menghasilkan industri nasional berdaya saing. Pemerintah berinvestasi melalui BUMN untuk joint venture dengan industri multinasional yang kredibel guna melakukan transfer teknologi. Dalam melakukan perintisan industri nasional, selain dukungan dana investasi, diperlukan juga afirmasi yang berpihak pada pengembangan kapasitas dan kompetensi industri.

 

Satryo Soemantri Brodjonegoro,

Dirjen Dikti (1999-2007); Guru Besar Emeritus ITB; Penasihat Khusus Menko Kemaritiman dan Investasi; Konsil Kedokteran Indonesia, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

 Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas 20 Februari 2024

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.