Opini

no image

Keniscayaan Universitas Riset

26 October 2025
Oleh : Terry Mart
Unduh PDF


Universitas riset adalah keniscayaan jika kita ingin menjadikan perguruan tinggi sebagai penggerak ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan industri.

Suka atau tidak suka, kita harus mengakui bahwa Indonesia belum memiliki universitas riset sejati. Padahal, keberadaan universitas riset merupakan prasyarat utama bagi setiap negara yang ingin keluar dari perangkap pendapatan menengah dan bertransformasi menjadi pusat inovasi.

Ironisnya, penelitian justru sedang marak di berbagai kampus nasional ternama. Hampir setiap universitas besar memiliki dosen yang masuk daftar 2 persen peneliti paling berpengaruh versi Stanford. Namun, sebagian besar penelitian tersebut ternyata masih bersifat sederhana. Tidak jarang penelitian dilakukan sekadar memenuhi kewajiban kum atau memperoleh insentif publikasi di jurnal terindeks Scopus.

Memang, sejak awal, universitas di Indonesia berfokus pada pendidikan. Tidak keliru. Berkat ini, banyak teknokrat unggul yang berperan besar dalam pembangunan nasional dilahirkan. Namun, sejatinya, universitas bukan hanya tempat mentransfer pengetahuan. Universitas juga memikul tanggung jawab menciptakan pengetahuan baru, mentransfer teknologi ke industri, serta melahirkan wirausahawan dan pembuat kebijakan dengan visi jauh ke depan. Inilah misi utama universitas riset.

Dengan bonus demografi yang dimiliki saat ini dan tekad pemerintah untuk melakukan transformasi ekonomi berbasis industri, pendirian universitas riset bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan. Pertanyaannya, mengapa begitu sulit diwujudkan? Apakah mustahil dilakukan di negeri ini?

Problem menuju universitas riset

Ketika membicarakan universitas riset, bayangan kita umumnya langsung tertuju pada nama-nama seperti Harvard University atau Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat. Harvard, misalnya, memiliki sekitar 4.500 pengajar, 32 penerima Nobel (berdasarkan afiliasi saat pengumuman), dan komposisi mahasiswa yang didominasi jenjang pascasarjana, sekitar 70 persen dari total mahasiswa!

Dalam pelbagai metrik publikasi ilmiah, Harvard selalu berada di peringkat teratas. Selain itu, Harvard produktif menghasilkan paten, menjalin kerja sama erat dengan industri, dan melahirkan alumni yang menonjol di dunia layanan publik ataupun bisnis.

Namun, bukan angka-angka Harvard yang perlu kita tiru. Untuk memahami esensi universitas riset, kita perlu melihat tiga unsur penting dalam kegiatan akademis: input, proses riset, dan output. Dari ketiganya, faktor manusia di dalamnya adalah yang paling menentukan, dan justru di sinilah letak persoalan utama kita.

Istilah universitas riset kerap menimbulkan kekhawatiran karena dianggap identik dengan pengurangan jumlah mahasiswa sarjana dan peningkatan besar-besaran mahasiswa pascasarjana. Padahal, di hampir semua perguruan tinggi di Indonesia, sumber pendapatan utama masih berasal dari mahasiswa sarjana dan vokasi.

Di sisi lain, minat terhadap program pascasarjana masih rendah, terutama di bidang sains dan teknologi yang menuntut waktu panjang, biaya tinggi, serta komitmen penuh. Banyak juga mahasiswa pascasarjana yang menempuh studi sambil bekerja sehingga sulit fokus pada riset.

Belum lagi proporsi dosen internasional yang sangat kecil, jauh di bawah kampus seperti National University of Singapore (NUS) yang memiliki sekitar 65 persen pengajar asing.

Dengan kondisi ini, mungkinkah universitas riset dapat diwujudkan di Indonesia?

Ragam universitas riset

Kajian menunjukkan, tidak ada satu model tunggal universitas riset. Delapan tahun lalu, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) pernah melakukan studi komparatif terhadap enam universitas riset dunia, yang dirangkum dalam buku Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia. Hasilnya menunjukkan, bentuk dan karakter universitas riset sangat beragam.

Dengan data yang diperbarui hingga awal 2025, sebagian besar universitas riset memang didominasi mahasiswa pascasarjana. Namun, ada pengecualian. Di Universitas Cambridge, misalnya, mahasiswa pascasarjana hanya sekitar 38 persen, sedangkan di NUS 27 persen. Sebaliknya, kedua universitas itu memiliki proporsi dosen internasional tinggi.

Universitas Tokyo dan Kyoto memiliki sekitar 50 persen mahasiswa pascasarjana, tetapi hanya sekitar 10 persen pengajar asing, mirip dengan Universitas Tsinghua di China. Korelasi antara peringkat universitas dan capaian riset pun tidak selalu jelas. Universitas Humboldt Berlin, misalnya, dengan tujuh penerima Nobel dan indeks-h 460, hanya menempati peringkat ke-126 dunia.

Kesimpulannya, universitas riset tidak seragam. Modelnya bisa disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan nasional selama budaya risetnya tetap kuat tertanam.

Strategi universitas riset

Dari keragaman tersebut terlihat bahwa dominasi mahasiswa pascasarjana atau banyaknya dosen internasional bukanlah harga mati sebuah universitas riset. Yang paling penting adalah budaya riset.

Hampir semua dosen di universitas riset aktif meneliti dan produktif menghasilkan karya ilmiah yang relevan dan berdampak. Selain itu, kebanyakan mereka adalah pemimpin di bidangnya, peneliti terbaik yang bekerja di garda terdepan pengetahuan, sehingga hasil risetnya selalu ditunggu, baik oleh komunitas akademik maupun industri. Jadi, penting sekali bagi tiap dosen untuk bekerja keras agar dapat masuk ke komunitas bidangnya dan berusaha untuk memimpin di sana.

Namun, semua itu membutuhkan dukungan nyata, yaitu pendanaan, infrastruktur, dan kebijakan yang berpihak kepada riset. Di negara maju, misalnya, universitas diperbolehkan menarik dana overhead dari proyek riset yang didanai pemerintah. Di Indonesia, hal itu belum diperkenankan. Karena itu, kemitraan dengan sektor swasta perlu diperluas.

Jumlah mahasiswa sarjana memang tidak harus dikurangi drastis, tetapi proporsinya dapat diatur ulang agar beban mengajar dosen lebih ringan sehingga mereka punya waktu lebih banyak untuk meneliti.

Berkaca pada kondisi saat ini, tampaknya hanya beberapa universitas terkemuka di Indonesia yang berpeluang bertransformasi menjadi universitas riset. Tentu saja dengan syarat pemerintah berani mengambil langkah strategis dan konsisten menyelesaikan pelbagai persoalan besar yang akan muncul di tahap awal transformasi ini.

Universitas riset adalah keniscayaan jika kita ingin menjadikan perguruan tinggi sebagai penggerak ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan industri. Tanpanya, sulit membayangkan Indonesia dapat berdiri sejajar dengan negara-negara yang telah menempatkan riset sebagai fondasi kemajuan.

Sudah saatnya kita melangkah berani ke arah itu. Sebab, tanpa universitas riset, cita-cita menjadi bangsa maju dan inovatif akan berhenti sebagai wacana semata.

 

Terry Mart
Pengajar Departemen Fisika FMIPA UI, Anggota AIPI

 

Artikel ini pertama kali diterbitkan diharian Kompas, 26 Oktober 2025

Hak Cipta © 2014 - 2024 AIPI. Dilindungi Undang-Undang