Asal ada niat politik, regulasi kuat, dan etika publik yang dijaga, kolaborasi yang etis, terbuka, berdaulat, dan adil itu bisa diwujudkan.
Pada awal Mei 2025, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menyampaikan tiga alasan utama mengapa Indonesia bersedia untuk menjadi lokasi uji coba vaksin tuberkulosis (TBC) M72/AS01E (Kompas, 9/5/25).
Alasan itu, yakni, pertama, untuk mengetahui lebih cepat kecocokan vaksin terhadap genetik penduduk lokal. Kedua, agar ilmuwan Indonesia terlibat langsung dalam pengembangan teknologi pembuatan vaksin. Ketiga, agar produksi vaksin dapat dilakukan lebih cepat oleh Bio Farma.
Pernyataan Menkes ini seolah mencoba menepis kekhawatiran bahwa Indonesia sekadar dijadikan tempat uji coba.
Dua hari sebelumnya, 7 Mei 2025, Presiden Prabowo Subianto menerima kunjungan Bill Gates dan mengungkapkan sejak 2009 Gates Foundation memberikan hibah lebih dari 159 juta dollar AS (sekitar Rp 2,62 triliun) kepada Indonesia.
Dana itu sebagian besar (119 juta dollar AS) dialokasikan untuk sektor kesehatan, termasuk pengadaan vaksin dan penguatan kapasitas produksi vaksin oleh Bio Farma. Selain itu, untuk sektor pertanian dan teknologi, masing-masing 5 juta dollar AS, dan lebih dari 28 juta dollar AS untuk program sosial lintas sektor, seperti pendidikan dan mengatasi kemiskinan.
Muncul pertanyaan, apakah uji coba vaksin TBC itu terkait, atau bahkan jadi syarat (conditionalities) hibah dari Gates?
Satu pandangan melihat keduanya terkait dan karenanya narasi itu perlu ditelisik lebih dalam. Pandangan lain melihat keduanya terpisah: uji klinis vaksin itu semata soal teknis kesehatan, tak perlu dikait-kaitkan, apalagi karena tuberkulosis sudah endemik di negeri ini dan perlu segera ditangani.
Mereka yang tak naif paham bahwa di kolong langit ini tak ada perkara yang teknis belaka, bahkan ketika menyangkut kompleksitas keilmuan, seperti kesehatan, termasuk teknologi vaksin. Setidaknya, selalu ada persoalan etis di sana, yang bisa menjadi pintu masuk mendalami perkara, bukan jatuh pada narasi pro-kontra, apalagi mendukung atau menolak semata.
Rasional, tetapi tak otomatis
Hibah Gates memang telah berkontribusi signifikan terhadap pengembangan kapasitas produksi vaksin di Indonesia. Dengan dukungan itu, Bio Farma mampu memproduksi sekitar 2 miliar dosis vaksin polio per tahun, digunakan di 42 negara dan menjangkau lebih dari 900 juta orang.
Kini, Gates Foundation mendukung pengembangan vaksin TBC yang direncanakan akan diuji coba di Indonesia dan program suplementasi mikronutrien ibu hamil yang akan diluncurkan segera.
Vaksin M72/AS01E sebenarnya dikembangkan Glaxo SmithKline (GSK) dengan dukungan Aeras dan International AIDS Vaccine Initiative (IAVI) sejak awal 2000-an. Pada 2020, upaya ini diambi lalih dan dilanjutkan Gates Medical Research Institute (Gates MRI) hingga tahap uji klinis fase III, dengan dukungan dana Gates Foundation dan Wellcome Trust.
Meski ketiga alasan yang disampaikan Menkes rasional, penting untuk melakukan pembacaan lebih dalam dan kritis.
Pertama, dalam ilmu biomedis, ditemukan bahwa respons imun terhadap vaksin dapat berbeda-beda tergantung dari host genetics—yakni karakter genetik populasi penerima. Studi Oberemok et al (2021) menunjukkan, variasi genetik pada gen HLA (Human Leukocyte Antigen) dan reseptor sel imun dapat memengaruhi tingkat kemampuan vaksin merangsang antibodi yang efektif.
Perbedaan ini menjadi dasar ilmiah penting perlunya uji klinis lintas wilayah dan populasi. Di sinilah letak relevansi Indonesia sebagai lokasi uji coba: negeri ini memiliki keragaman genetik tinggi karena faktor geografis dan etno-demografis sehingga dapat menjadi model representatif (misalnya untuk populasi Asia Tenggara). Pendekatan ini dikenal sebagai precision public health, strategi kesehatan berbasis data lokal dan karakteristik populasi.
Contohnya uji klinis vaksin Covid-19 Sinovac di Bandung, pertengahan 2020. Bio Farma bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran menjalankan uji fase III pada 1.620 sukarelawan. Hasilnya studi ini memberikan data kontekstual yang menjadi dasar kebijakan vaksinasi nasional saat itu.
Contoh lain, uji klinis fase III vaksin malaria RTS,S/AS01 oleh GSK yang melibatkan lebih dari 16.000 anak di delapan negara Afrika, 2009-2014. Hasilnya, efikasi vaksin sangat bervariasi antara 27–50 persen tergantung dari wilayah pengujian. Variasi ini terjadi karena perbedaan struktur genetik parasit malaria di tiap wilayah, serta perbedaan respons imun manusia.
Jadi, tanpa uji lokal, efektivitas vaksinbisa overestimated atau underestimated jika hanya mengandalkan data populasi lain. Namun, manfaat itu—dalam hal vaksin TBC—tak otomatis: hanya bisa didapat jika Indonesia mendapatkan hak penuh atas akses data, kebebasan analisis ilmiah, dan ruang untuk mengintegrasikannya ke dalam kebijakan kesehatan nasional.
Tanpa jaminan itu, kita hanya jadi lokasi riset yang mendistribusikan risiko, tanpa kontrol atas hasil. Sejarah menunjukkan, dalam banyak kasus uji klinis global, negara tempat uji tak selalu dapat bagian dalam hasil intelektual atau hak produksi dari teknologi yang dikembangkan.
Bahkan, sering kali data uji tidak dikembalikan secara terbuka, atau dipublikasikan tanpa kolaborasi yang berarti dengan ilmuwan lokal. Di sinilah pentingnya negosiasi yang cermat dan kerangka hukum nasional yang tidak miopik: melindungi kepentingan jangka panjang, bukan sekadar mengejar manfaat jangka pendek.
Relasi kuasa dunia medis
Kedua, kita juga tak bisa menutup mata terhadap konteks politik global. Dalam literatur critical medical anthropology, praktik ini disebut kolonialisme biomedis (biomedical colonialism): saat negara berkembang dijadikan lokasi uji coba oleh perusahaan farmasi negara maju, tetapi tak sungguh dilibatkan dalam riset atau pembagian manfaatnya (Petryna, 2009; Sariola & Simpson, 2011).
Ini sejalan dengan teori ketergantungan klasik (Frank, 1967), di mana negara-negara Selatan terus berada dalam posisi subordinat terhadap pusat kekuasaan ilmu dan modal.
Kasus tragis terjadi di Kano, Nigeria, tahun 1996. Saat wabah meningitis melanda, Pfizer melakukan uji coba antibiotik eksperimental terhadap anak-anak menggunakan obat Trovan. Tanpa proses informed consent (persetujuan sadar berdasar informasi) yang memadai, dan dengan hasil yang kontroversial, kasus ini memicu gugatan hukum dan menjadi simbol ketimpangan dalam riset medis global.Siapkah Indonesia menanggung risiko itu?
Menjadi lokasi uji coba berarti menjadi pihak pertama yang menanggung ketidakpastian—baik efikasi vaksin yang belum terbukti sepenuhnya maupun kemungkinan efek samping serius yang tak terdeteksi di fase praklinis atau uji sebelumnya. Risiko ini sistemik dan melekat di setiap proses uji klinis tahap akhir.
Karena itu, kalau Indonesia memang bersedia jadi lokasi uji, pemerintah mesti punya sistem proteksi ketat: kerangka hukum informed consent yang kuat, mekanisme etik independen, pengawasan terhadap uji klinis oleh otoritas nasional yang kompeten, dan skema kompensasi yang adil bagi subyek uji terdampak. Tanpa semua itu, keterlibatan Indonesia justru akan mereproduksi relasi eksploitatif, seperti dikritik kolonialisme biomedis.
Apalagi jika protokol uji dan kesepakatan lisensi dilakukan secara tertutup tanpa partisipasi masyarakat sipil dan pengawasan publik, potensi penyalahgunaan kekuasaan sains dan modal akan makin besar.
Karena itu, pemerintah mesti transparan apakah semua prasyarat, protokol uji dan kesepakatan lisensi sudah ada, atau masih dalam proses. Komunikasi terbuka kepada publik menjadi kunci agar ada transparansi dan akuntabilitas sebagai prinsip dasar setiap kerja sama global bidang kesehatan.
Etika kolaborasi
Ketiga, alih-alih terjebak antara sinisme politik dan optimisme teknokratis, Indonesia bisa menempuh jalan tengah konstruktif: kolaborasi etis berbasis transparansi, kedaulatan, dan keadilan. Pendekatan ini tak hanya perlu secara moral, tetapi sesuai dengan kerangka akuntabilitas untuk kewajaran (accountability for reasonableness) dalam etika kebijakan kesehatan publik (Daniels, 2000).
Ia menggarisbawahi pentingnya pertanggungjawaban prosedural dan inklusi pihak terdampak dalam setiap keputusan menyangkut kesehatan masyarakat. Ini selaras dengan pedoman riset internasional Council for International Organizations of Medical Sciences (CIOMS) dan WHO (2016), yang menekankan partisipasi negara berkembang dalam riset kesehatan global harus disertai perlindungan maksimal terhadap hak-hak subyek uji dan penguatan kapasitas lokal.
Dalam semangat itu, keterlibatan ilmuwan Indonesia mestinya tak berhenti pada peran pelaksana teknis lapangan. Satu, mereka harus diberi peran strategis dalam merancang desain uji, menentukan metodologi, dan menganalisis hasilnya secara independen. Dua, keterlibatan ini perlu guna memastikan keputusan ilmiah tak hanya diambil dari luar (yang meminta uji), tetapi mencerminkan kepentingan dan konteks lokal.
Tiga, publikasi seluruh protokol uji dan hasilnya secara transparan agar komunitas medis dan masyarakat sipil bisa menilai manfaat dan risikonya secara mandiri, bukan sekadar menerima narasi resmi.
Keadilan juga mesti tecermin dalam aspek komersial dan teknologi. Perjanjian transfer teknologi dan lisensi produksi harus dirancang adil dan mengikat agar kita tak hanya jadi pasar atau basis produksi murah, tetapi juga punya kepemilikan atas pengetahuan dan manfaat ekonomi yang dihasilkan.
Terakhir, harus diingat: perlindungan terhadap subyek uji tidak bisa dinegosiasikan. Mereka yang ikut serta dalam uji coba harus dapat jaminan hukum dan dukungan medis jangka panjang, termasuk kompensasi memadai bila terjadi efek samping yang tak diantisipasi.
Pengalaman uji coba vaksin Ebola oleh Merck di Guinea 2015 yang hasilnya dipublikasikan di 2016 jadi contoh bahwa kolaborasi etis dan setara itu mungkin. Ilmuwan dan pemerintah lokal tak hanya dilibatkan, tetapi juga ikut berperan dalam arah riset dan distribusi hasilnya. Ini menunjukkan keterlibatan negara berkembang di inovasi medis tak harus berlangsung dalam posisi inferior.
Asal ada niat politik, regulasi kuat, dan etika publik yang dijaga, kolaborasi yang etis, terbuka, berdaulat, dan adil itu bisa diwujudkan.
Jadi, tak ada yang salah dengan partisipasi Indonesia dalam pengembangan teknologi kesehatan global. Ilmu pengetahuan dan inovasi memang universal dan harus terus tumbuh melintasi batas negara. Itu prasyarat kemajuan peradaban manusia. Namun, partisipasi yang sehat hanya mungkin terjadi bila dibangun atas dasar kesetaraan, bukan kepatuhan.
Kita mesti ingat: rakyat Indonesia bukan sekadar angka statistik atau tubuh-tubuh anonim dalam jurnal akademik. Mereka warga negara yang hak-haknya harus dilindungi, bukan dikorbankan atas nama kemajuan.
Uji coba vaksin memang bagian tak terpisahkan dari inovasi medis. Namun, inovasi jika tak disertai perlindungan yang adil, transparansi proses, dan kepastian manfaat bagi semua pihak hanya akan memperpanjang sejarah ketimpangan dalam wajah baru. Jika kita tak hati-hati, Indonesia bukan sedang mempercepat langkah menuju kemajuan, tetapi malah membuka pintu bagi bentuk baru kolonialisme ilmiah.
Yanuar Nugroho,
Dosen STF Driyarkara, Anggota Komisi Ilmu Sosial AIPI, Pendiri dan Penasihat Nalar Institute
Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas 25 Mei 2025.