TFFF menghargai luas hutan yang masih berdiri, bukan cadangan karbon atau jumlah karbon dioksida yang batal diemisikan. Akankah RI bisa mendapatkan manfaatnya?
Konferensi Perubahan Iklim sudah berusia 30 tahun. Pada usianya yang tidak muda lagi ini COP30 diselenggarakan di tanah kelahirannya Brasil, 10-21 November 2025.
Salah satu agenda besar pemerintahan Presiden Lula da Silva dalam COP30 adalah mengegolkan Tropical Forest Forever Facility (TFFF). Skema yang diusulkan Brasil di COP28 ini dirancang untuk memberi insentif kepada negara pemilik hutan tropis yang berhasil melakukan konservasi dan perluasan hutan. TFFF juga menekankan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati (kehati) serta melibatkan penduduk asli dan komunitas lokal (indigenous people and local community/IPLC). Ditegaskan bahwa pendanaan akan tersedia jika paling sedikit 20 persen dari pembayaran TFFF disalurkan kepada IPLC yang terlibat dalam konservasi.
Jika kita menoleh ke belakang, saat Indonesia menjadi tuan rumah COP13, skema Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD) menjadi keputusan COP13. Selanjutnya skema ini didukung oleh Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), inisiatif Bank Dunia. Mekanisme yang berbasis hasil atau kinerja dan diadopsi oleh Perjanjian Paris ini dianggap tidak memenuhi harapan karena laju deforestasi hutan tropis dan kerusakan keanekaragaman hayati masih tinggi serta penyertaan IPLC rendah.
TFFF diikuti Kolombia, Ghana, Kongo, Indonesia, dan Malaysia. Sementara Jerman, Uni Emirat Arab, Perancis, Norwegia, dan Inggris Raya diharapkan bertindak sebagai investor. Bank Dunia sebagai Wali Amanah dan sekretariat sementara untuk dana TFFF yang selanjutnya dinamakan Tropical Forest Investment Fund (TFIF).
TFFF berencana mengumpulkan 125 miliar dollar AS yang terdiri 25 miliar dollar AS dari sponsor dan 100 miliar dollar AS dari investor swasta. TFFF beroperasi dengan meminjam uang melalui TFIF, dan membayarkan hasilnya kepada negara yang telah mempertahankan atau meningkatkan tutupan hutan. Nilai insentif 4 dollar AS per hektar per tahun. Jadi, TFFF menghargai luas hutan yang masih berdiri, bukan cadangan karbon atau jumlah karbon dioksida yang batal diemisikan.
Di tengah perdebatan tentang kelayakan (eligibility) apakah Indonesia bisa menerima dana TFFF atau tidak, tiba-tiba Utusan Khusus Presiden bidang Climate Change dan Energy, Hashim Djojohadikusumo, mengumumkan janji (pledge) bahwa Indonesia akan menyumbang TFFF 1 miliar dollar AS (sekitar Rp 16 triliun). Banyak pihak menganggap ini ironi mengingat status kita sebagai negara berkembang pemilik hutan tropis yang perlu dikonservasi. Seharusnya kita layak menerima dan memanfaatkan dana TFFF, tetapi kenapa kita justru menyumbangkan dana sebesar itu?
Masih segar dalam ingatan kita ketika Indonesia mengais-ngais result-based payment untuk penurunan emisi melalui mekanisme REDD+. Kerja keras menurunkan emisi dalam periode 2010-2020 itu hanya menghasilkan 56 juta dollar AS dari Norwegia dan 104 juta dollar AS dari Green Climate Fund. Kini kenapa 1 miliar dollar AS dijanjikan? Anggaran apa yang menanggung?
Janji memang bisa tidak ditepati seperti kerap dilakukan negara-negara maju yang gagal merealisasikan janjinya dalam konteks perubahan iklim. Akan tetapi, kepentingan politik jarang terungkap di depan publik, padahal mereka berhak tahu karena dana yang dijanjikan adalah dana publik. Kalau TFFF merupakan insentif, bagaimana mungkin itu kita ambil dari kantong sendiri?
Untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia menjadi penyandang dana isu global seperti perubahan iklim, meskipun Indonesia bukan pemicu utamanya. Ditengarai pemimpin negara-negara pengimisi terbesar, seperti India dan China (yang juga anggota BRICS), tidak akan hadir di COP30. Jangan ditanya Amerika Serikat, yang sudah mundur dari Perjanjian Paris, melenggang dari tanggung jawab bersama.
Status hutan Indonesia
Luas kawasan hutan Indonesia adalah 120 juta ha, tetapi hanya 96 juta ha yang dapat dikategorikan berhutan dan seluruhnya adalah hutan negara. Di antara kawasan hutan berhutan ini hanya 18 persen yang termasuk kategori hutan konservasi dan layak mendapatkan dana TFFF jika terlindung. Sebagian terbesar adalah hutan produksi (57 persen) yang pasti tidak layak, dan hutan lindung (25 persen) yang sering mengalami gangguan karena tata kelola yang lemah.
Indonesia memang tidak perlu ”menjual” hutannya dengan harga yang murah. Menjaga kedaulatan negara adalah harga mati. Namun, bagaimana keberlanjutan sumber daya alam, termasuk hutan tropis dapat menjamin kesejahteraan masyarakat. Paling tidak yang sudah beberapa generasi hidup di sekitar dan di dalam hutan. Hingga 2024, negara sudah menetapkan 400.000 ha hutan adat yang secara hukum berada dalam pengelolaan masyarakat adat. Karena itu, dalam konteks TFFF, hutan adat akan lebih mudah mendapatkan insentif. Dengan dukungan peningkatan kapasitas tata kelola, masyarakat adat yang penghidupannya sangat tergantung pada hutan adat, dengan mudah dapat membuktikan hutan alam milik mereka masih tetap berdiri.
Dalam Pertemuan Puncak United for Wildlife menjelang COP30 di Rio de Jeneiro baru-baru ini, Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni menyebutkan, luas hutan adat yang diakui pemerintah adalah 1,4 juta ha. Jadi, ada tambahan 1 juta ha sehingga peluang masyarakat adat untuk mendapatkan insentif TFFF menjadi lebih besar. Sementara itu, konservasi hutan negara yang jarang melibatkan IPLC akan terus menjadi beban negara.
Jika kawasan konservasi bersinggungan atau tumpang tindih dengan masyarakat yang tidak menguasai hutan adat, implementasi TFFF perlu pendekatan bottom-up. Pendekatan subnasional tidak menjamin bahwa keterlibatan masyarakat akan terjadi. Elite lokal, termasuk pemda, perlu membenahi tata kelola penyertaan masyarakat karena mereka bukan penonton, melainkan pelaku konservasi hutan gantungan hidup mereka. Mereka harus mendapat manfaat langsung TFFF.
Menggunakan mekanisme pembiayaan campuran yang menggabungkan modal publik dan swasta, TFFF akan lahir di COP30 di Kota Belem, Brasil. Skema ini akan menyediakan pendanaan jangka panjang bagi konservasi hutan. Kelayakan Indonesia dalam insentif TFFF mungkin akan diuji mengingat banyaknya kegiatan strategis yang mereduksi tutupan hutan tropis secara terencana karena kebijakan alih guna lahan untuk tanaman industri dan pangan.
Indonesia perlu berbagi dengan Malaysia dan Brunei jika kawasan yang nyaris tak tersentuh tangan manusia di jantung Kalimantan (Heart of Borneo) hendak dijadikan kandidat konsevasi dalam skala kolosal. Selain akses yang sulit dan risiko deforestasi kecil, kawasan ini melibatkan memiliki peluang besar dalam konteks keanekaragaman hayati dan IPLC.
Daniel Murdiyarso,
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Artikel ini pertama kali diterbitkan di Harian Kompas 13 November 2025