Opini

no image

Ambruknya Keadaban Pemerintahan

07 October 2025
Oleh : Yanuar Nugroho
Unduh PDF


 Cara bernegara kita saat ini mungkin seperti kritik penyair Juvenal zaman Romawi kuno abad pertama Masehi: "panem et circenses" (roti dan sirkus).

Kalau hendak ringkas digambarkan, barangkali soal mendasar yang dihadapi negeri ini adalah tengah ambruknya keadaban cara bernegara kita. Berbagai peristiwa setahun terakhir ini menunjukkan jelas gejala itu.

Cara pemerintah menanggapi kasus keracunan massal dalam program prioritas nasional makan bergizi gratis (MBG) adalah contoh paling telanjang. Mulai dari para pejabat publik yang menganggap enteng, tak adanya itikad transparansi Badan Gizi Nasional membuka proses bisnis untuk diaudit, hingga terungkapnya fakta banyak dapur penyedia MBG terafiliasi, atau bahkan dimiliki oleh anggota DPR, elite partai, bahkan yayasan milik tentara dan polisi. Singkatnya, niat baik MBG runtuh dalam ketidakmampuan pemerintah sendiri menjalankannya.

Tapi bukan hanya MBG. Program pembangunan lainnya pun serupa. Sekolah Rakyat yang dipaksakan tanpa kesiapan guru, fasilitas, dan muridnya; Koperasi Merah Putih yang bertentangan dengan prinsip koperasi dan rawan dikendalikan elite; hingga Cek Kesehatan Gratis yang hanya berhenti di pemeriksaan tanpa jaminan pengobatan. Masih banyak lagi. Semuanya punya pola serupa: digelar besar-besaran, tetapi eksekusi dipaksakan, minim kesiapan, akuntabilitas, dan keterbukaan.

Semua ini, ditambah melambungnya harga kebutuhan pokok, PHK, beban hidup, belum lagi tingkah-tak-pantas para pejabat yang malah ditambah insentifnya, membuka mata atas kesenjangan dan mengoyak rasa keadilan. Akhirnya, ia memicu kemarahan publik nyaris serentak di setidaknya 173 kota/kabupaten yang sebagian berujung kekerasan akhir Agustus 2025. Tapi, bahkan menanggapi itu, respons pemerintah tak jauh beda, malah lebih parah: aparat jadi alat mobilisasi ketakutan demi stabilitas, para aktivis dicap perusuh dan ditangkap paksa di berbagai kota tanpa perlindungan hukum.

Jadi, yang kini kasat mata: pemerintah sembrono dalam bernegara dan menjalankan pembangunan, tetapi koreksi seperti diharamkan. Kritik dianggap serangan kebijakan, wartawan dicabut aksesnya dan dilarang memberitakan dengan dalih kerawanan. Bahkan, warga tak boleh melaporkan ketidakberesan agar tak dianggap meresahkan.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Otoritarian tambal sulam

Di satu sisi, tak bisa disangkal corak pemerintahan makin sentralistik, bahkan militeristik. Ada yang menyebutnya otoritarian demokratis (democratic authoritarian), atau resiliensi otoritarian (authoritarian resilience). Intinya: institusi demokrasi memang ada, tetapi hanya prosedural basa-basi tanpa substansi (Nathan, 2003; Levitsky and Way, 2010). Publik tak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan, apalagi mengoreksinya; kritik publik dianggap antipemerintah dan direpresi, baik terbuka maupun diam-diam.

Di sisi lain, cara pemerintah menjalankan pembangunan memang bermasalah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga komunikasinya. Berbagai program prioritas, karena simbol politik, dijalankan tergesa-gesa tanpa rencana matang, bahkan tanpa kerangka regulasi memadai. Yang penting jalan secepatnya, dampaknya dipikir nanti.

Jadinya? Pola pembangunan rapuh penuh kontradiksi. MBG yang mestinya jadi terobosan peningkatan gizi, sampai kini belum punya dasar hukum, kerap memicu keracunan massal karena tata kelola buruk dan konflik kepentingan penyedia. Pemindahan Aparatur Sipil Negara (ASN) ke IKN yang terus tertunda menunjukkan janji politik didahulukan sedangkan kesiapan infrastruktur dan institusi diabaikan. Revisi kilat UU BUMN hanya tujuh bulan setelah disahkan menandakan regulasi bisa diubah sesuai kemauan politik, bukan demi kepastian hukum dan kepentingan publik. Bahkan, perluasan bantuan sosial yang mestinya jadi instrumen pemberdayaan malah sering jadi alat politik sesaat, dan menciptakan ketergantungan baru masyarakat tanpa memperkuat ketahanan ekonomi mereka.

Sementara banyak pejabat publik ternyata tidak profesional—jika bukan inkompeten—menjalankan pembangunan. Bukan rahasia, seleksi terbuka pejabat

eselon I kini tak lagi dijalankan dengan prinsip meritokrasi, tapi penunjukan langsung. Bisa jadi mereka memang diangkat karena alasan politik, misalnya kelompok pendukung. Tapi, memercayakan jalannya pembangunan yang butuh teknokratisme ulung pada mereka yang tak paham kompleksitas teknis itu langkah ’bunuh diri’ dalam pemerintahan. Ini diperparah dengan komunikasi kebijakan yang amat buruk, baik dalam menyampaikan logika program, maupun menjelaskan masalah yang timbul karena program tersebut. Ini sudah banyak contohnya.

Akibatnya, pembangunan anjlok jadi proyek politik, sementara masalah struktural—tata kelola, kapasitas birokrasi, hingga kualitas kepemimpinan—dibiarkan tanpa pembenahan. Tambal sulam terjadi di sana-sini. Pemerintah sibuk menjawab gejolak jangka pendek tanpa membangun pijakan jangka panjang. Dan saat tambal sulam itu tak menyelesaikan masalah, kritik direpresi sebagai solusi.

Politik “roti dan sirkus”

Cara bernegara kita saat ini mungkin seperti kritik penyair Juvenal zaman Romawi kuno abad pertama Masehi: panem et circenses (roti dan sirkus). Ia mengecam rakyat Roma yang rela melepaskan hak politiknya, asal tetap mendapat jatah roti (panem) gratis dan hiburan sirkus di arena (circenses). Mirip cara bernegara kita hari ini: rakyat cukup diberi bantuan tunai, subsidi pangan, makan gratis, dan tontonan simbolik, sementara akar persoalan—dari tata kelola birokrasi hingga kepastian hukum—dibiarkan membusuk. Hukum berubah menjadi instrumen politik, birokrasi dibajak kepentingan rezim, sementara publik dijauhkan dari peran sebagai warga yang kritis.

Politik, yang mestinya merumuskan visi kolektif bangsa, menyempit jadi arena perebutan kekuasaan oligarki dan dinasti. Hadiz dan Robison (2004) menyebutnya oligarchy in the age of markets: kekuasaan politik tak lagi ditopang legitimasi publik, tetapi kekayaan dan jaringan keluarga. Di Indonesia, buktinya jelas: lebih dari 659 calon kepala daerah dan wakil kepala daerah Pilkada 2024 adalah kandidat dinasti (Kenawas dan Savirani, 2025), sementara di parlemen 2024 antara 14 dan 23,8 persen anggota DPR punya ikatan keluarga dengan elit politik (Perludem, 2024; CSIS, 2024).

Ekonomi sebagai fondasi kesejahteraan rapuh oleh kebijakan tak konsisten, bergantung pada utang, dan minim keberanian melakukan reformasi struktural. Terobosan 17 kebijakan ekonomi senilai Rp 16,23 triliun diluncurkan untuk mendorong pertumbuhan dan menyerap tenaga kerja, tetapi implementasinya punya tantangan serius: tata kelola, konflik kepentingan, risiko lingkungan. Ia hanya akan berhasil jika dijalankan bertahap, jelas indikator kinerjanya, transparan, dengan harmonisasi regulasi agar tak jadi proyek mercusuar. Begitu juga gelontoran Rp 200 triliun ke ekonomi nasional tak akan jalan tanpa disiplin fiskal untuk memastikan pembangunan bagi semua. Ingat: ekonomi yang tak inklusif hanya akan menghasilkan pertumbuhan rapuh dan memperlebar ketimpangan.

Sementara hukum yang mestinya jadi penjaga kepastian dan instrumen keadilan justru jadi alat justifikasi kekuasaan. Tebang pilih penindakan, tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah, hukum kehilangan marwah sebagai pilar utama rule of law. Indeks Rule of Law Indonesia ada di peringkat ke-68 dari 142 negara, dengan skor hanya 0,53—turun dibanding 2022 (World Justice Project, 2024). Ini bukti lemahnya supremasi hukum dan minimnya independensi lembaga peradilan.

Kombinasi politik dinasti, ekonomi yang rapuh, dan hukum yang timpang memperdalam krisis trust. Pelemahan rupiah, larinya modal asing, serta melonjaknya harga emas hanyalah gejala pasar anjloknya kepercayaan. Revisi UU TNI dan BUMN, dan rencana revisi UU lainnya yang hampir pasti lolos—seperti UU P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan) yang mengompromikan independensi BI, Keuangan Negara, ASN—meremukkan trust pada regulasi yang jadi alat politik.

Jadi, saat konsolidasi demokrasi dan jalannya pembangunan terancam oleh politik, ekonomi, dan hukum yang berjalan sendiri-sendiri tanpa tata kelola yang kuat, warga malah dibuai dengan ‘roti dan sirkus’. Ini sinyal serius tengah ambruknya keadaban pemerintahan kita, yang mendesak dibenahi.

Prinsip dan jalan keluar

Membenahi cara bernegara memang tak mudah, tetapi ada prinsipnya. Pertama, kepastian hukum. Hukum tak boleh menjadi alat kuasa kepentingan politik sesaat. Lembaga seperti KPK, BPK, dan MA harus diperkuat independensinya agar tak tunduk pada tekanan politik. Tata kelola pembangunan butuh rule of law dan control of corruption (Kaufmann et al., 2010). Sayangnya, sejak KPK dilemahkan lewat revisi UU Tipikor 2019, lembaga-lembaga yang dulunya simbol independensi, kini malah rentan intervensi politik. Jika Indonesia mau memulihkan trust publik dan pasar, reformasi hukum yang menegakkan independensi peradilan dan lembaga pengawasan itu keharusan, bukan pilihan. Paralel dengan itu, reformasi politik harus dilakukan, mulai dengan pendanaan partai yang transparan agar tak dikuasai dinasti dan oligarki. Ini syarat mutlak mencegah state capture dan menjamin keadilan dalam kompetisi politik. Regulasi antidinasti juga mendesak karena politik dinasti kian marak.

Kedua, transparansi dan akuntabilitas. Rakyat berhak tahu untuk apa pajaknya dipakai, kontrak publik dibuat, dan bagaimana kebijakan diambil. Transparansi menciptakan akuntabilitas sosial, memperkecil peluang korupsi, dan meningkatkan trust publik. OECD (2017) menunjukkan keterbukaan anggaran meningkatkan efektivitas kebijakan fiskal dan legitimasi pemerintah. Praktik keterbukaan pemerintah di lebih dari 70 negara melalui Open Government Partnership (OGP) menunjukkan akses publik pada data kontrak, belanja negara, dan pengadaan barang-jasa bisa menekan penyelewengan. Portal transparansi anggaran di Brasil (Portal da TransparÊncia) sering jadi contoh bagaimana keterbukaan memberi ruang masyarakat sipil mengawasi pemerintah. Indonesia semestinya melangkah lebih jauh dari sekadar wacana keterbukaan, menuju akuntabilitas yang konsisten.

Ketiga, kompetensi, bukan privilese. Meritokrasi itu kunci mengisi jabatan publik. Pejabat publik harus dipilih berdasarkan kapasitas, integritas, dan pengalaman, bukan hubungan kekerabatan, loyalitas politik, atau kekuatan uang. Demokrasi yang stabil ditopang institusi yang merekrut pejabat negara secara kompetitif dan berbasis kompetensi (Lijphart, 1999). Sebaliknya, saat posisi publik diwariskan melalui dinasti atau politik uang, negara terjebak pada patrimonialisme yang memperlemah kualitas kebijakan. Karena itu, reformasi birokrasi harus menegakkan meritokrasi dan mencegah politisasi ASN dan pejabat publik—tak boleh dikalahkan kompromi politik.

Keempat, visi pembangunan jangka panjang harus terinstitusionalisasi, bukan hanya janji. Negara perlu rencana strategis yang konsisten, melampaui horizon politik lima tahunan. Ini penting sebagai ’aturan main’ agar arah pembangunan tak berubah tiap rezim berganti. Negara yang sukses menjaga konsistensi visi—seperti Singapura dengan Concept Plan 50 tahunan dan Master Plan 10 tahunan atau China dengan kerangka modernisasi Five-Year Plans—terbukti maju dalam jangka panjang. Indonesia punya RPJPN 2025–2045, tetapi tanpa penguatan institusional, visi ini hanya akan jadi retorika politik.

Terakhir, orientasi publik. Kebijakan itu barang-publik (public good), bukan alat memperkaya elite. Kebijakan publik yang berorientasi kepentingan umum melahirkan legitimasi sosial, keadilan distributif, dan menguatkan demokrasi, bukan hanya pertumbuhan ekonomi. Demokrasi hanya akan sehat jika masyarakat sipil, media, akademisi, dan komunitas profesional aktif terlibat karena keterlibatan sipil dan modal sosial itu kunci demokratisasi. Literasi politik harus ditingkatkan agar warga bisa menagih akuntabilitas, media bebas mengawasi kekuasaan, dan akademisi menyediakan pengetahuan untuk memperkuat wacana publik. Indonesia harus berani menegaskan kembali orientasi kebijakan publik: pemegang kedaulatan itu rakyat, bukan elite politik atau oligarki.

Tanpa prinsip dan pembenahan ini, keadaban cara bernegara kita yang sudah nyaris ambruk akan makin terpuruk. Kita akan terus terjebak dalam politik panem et circenses –ekonomi instan, hiburan populis, dan hukum transaksional.

Akhirnya

Hakikat bernegara adalah membangun bonum commune (kebaikan bersama). Negara bukan panggung pertunjukan kekuasaan, mesin distribusi privilese, atau instrumen stabilitas jangka pendek. Negara adalah alat kolektif memastikan keadilan, kesejahteraan, dan keberlanjutan hidup berbangsa.

Untuk itu, kepastian hukum, transparansi politik, ekonomi yang adil, dan birokrasi yang kompeten harus jadi agenda kunci pembangunan, bukan proyek perburuan rente. Hanya dengan cara itu, keadaban jalannya negeri ini bisa dibenahi.

 

Yanuar Nugroho,
Dosen STF Driyarkara Jakarta; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI); Pendiri dan Penasihat CIPG dan Nalar Institute; dan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015-2019.

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas 07 Oktober 2025

Hak Cipta © 2014 - 2024 AIPI. Dilindungi Undang-Undang